Suara Dari Kebun Karet : Bila Hujan Aktifitas Ekonomi Terhenti

21 Mar 2013 1173 x Dibaca

Meski almanak merah Adrinal (28)warga Tampuniak yang menggantungkan hidup di kebun karet terus saja bekerja. Jalan dipinggir bukit di laluinya dengan lincah. Kuda-kudanya tampak kokoh sembari menyandang ogak.

Ia sudah melakoni usaha berkebun karet ini semenjak tiga tahun lalu. Lahan yang dikelolanya adalah jatah dari sang mertua. Banyak duka dan sedikit suka yang dialaminya selama menyadap karet itu.

"Kami susah membaca cuaca. Cuaca di perbukitan sering berganti ganti. Pagi terlihat sangat cerah, tak berapa jam kemudian bisa bisa turun hujan lebat," katanya.

Hujan lebat inilah persoalan yang sering menghantui. Kemudian yang kedua persoalan harga yang tidakpernah stabil. "Kami tidak pernah mendapatkan informasi tentang harga karet sesungguhnya. Semuanya terserah tauke," kata Adrinal.

Terkait hujan, sebulan terakhir, hujan selalu mengguyur kawasan perbukitan di Kabupaten Pesisir Selatan. Cuaca terang, hanya berlangsung menjelang siang, setelah itu hujan mengguyur hingga malam.

Demikian terus terjadi semenjak awal Januari, Februari lalu. Maka yang paling merasakan dampak buruk dari hujan yang berkepanjangan itu adalah para petani karet yang tersebar di pinggir bukit barisan atau bagian sisi timur Kabupaten Pesisir Selatan.

Bila nelayan mencemaskan datangnya badai ataupun gelombang besar, maka petani karet mencemaskan datangnya hujan apalagi hujan tersebut turun berkepanjangan. Satu hari saja hujan, maka berarti dua hari petani karet tidak bisa beraktifitas di kebunnya. Apalagi hujan sebulan, tentu beban berat dipikul petani karet di Pesisir Selatan, terutama menyangkut dapur rumah tangga.

Adrinal adalah satu diantara 4.000-an petani karet yang merasakan dampak buruk hujan yang turun setiap hari sebulan belakangan. Adrinal setahun terakhir tidak mempunyai lahan pekerjaan lain selain sebagai petani karet. Tidak ada sawah yang diolah, tidak ada ladang yang bisa dijadikan pengalihan pekerjaan selama musium penghujan.

Salah satu kelamahan petani karet di daerah ini adalah tidak adanya koperasi khusus petani karet tempat mengadu. Adrinal mengaku, selama panen karet atau musim menyadap karet, uang yang dihasikan dari penjualan karet hanya utuk memenuhi kebutuhan sehari hari dan bayar hutang. Ia tidak menabung dan tidak pula menginvestasikan hasil karetnya ke bidang lain.

Dikatakan Adrinal, setelah sebulan tidak naik ke kebun, ia dan rekan seprofesinya di Tampunik mengeluh untuk menutupi kebutuhan keluarga sehari hari. Beberpa orang memang bekerja sebagai pengambil batu disungai. Karena di kebun karet tidak ada yang bisa dikerjakan untuk mendapatkan uang, karet tidak bisa disadap, karena jika disadap, maka air hujan akan bercampur dengan karet dan pada akhirnya tidak bisa dimbil.

"Kini saya menganggur. Lahan pekerjaan lain tidak ada, sehingga untuk menutupi kebutuhan sehari hari kadang harus mengutang pada beberapa tempat. Lain pahitnya sebagai nelayan, lain pula penderitaan sebagai petani karet," katanya menuturkan derita berkebun karet kepada Haluan di kediamannya di Tampunik.

Adrinal tidak tahu kapan ia bisa beraktifitas menyadap karet. Biasanya menurut dia, musim hujan bisa berbulan bulan, maka selama itu pula ia merasakan penderitaan sebagai petani karet. "Sebelum datang musim hujan, harga karet sedang tidak bagus, maka keluarga saya tidak punya simpanan banyak, hanya dalam waktu 15 hari saja simpanan sedikit itu sudah ludes," katanya.

Khusus untuk kebutuhan lauk pauk, petani karet ini mengaku mendapat pinjaman dari pedaganga ikan, dengan artian setiap dua hari ia mengambil ikan atas nama hutang kepada tukang ikan, lalu, bila muisim menyadap nanti baru dibayar. "Biasanya, bila hari tidak hujan, maka hasil penyadapan beberapa minggu hanya cukup untuk membayar hutang pada tukang jual ikan," katanya.

Disebutkan Adrinal, bila musim hujan selesai, maka proses penyadapan karet butuh waktu lama, karena bekas sadapan lama tidak lagi bisa dilanjutkan, soalnya, ia sudah tumbuh menjadi kulit baru selama musim penghujan berlangsung. "Yah, artinya biaya akan menjadi besar menjelang tempat penyadapan baru bisa berfungsi," ungkap Adrinal.

Hujan yang telah berlangsung lama itu, selain merugikan petani karet, juga menyebakan hilangnya lahan pekerjaan bagi buruh tani yang dipekerjakan diladang ladang karet rakyat itu. Adrinal mengaku, bila musim menyadap ia mempekerjakan orang lain sebanya satu orang. Kemudian secara berkala, juga mendatangkan pekerja untuk land clearing.

Berdasarkan data Dinas Pertanian, Tanaman Pangan, Hortikultura, Peternakan dan Perkebunan Pessel, didaerah ini tercata sekitar 8,04 ribu hektar lahan perkebunan karet dengan jumlah orang yang menggantungkan hidup disana sekitar 4.000 petani, dan 4.000 buruh sadap di kebun karet. Dari 4.000 orang petani maka hampir separoh hanya mengandalkan penghasilan dari karet seperti Adrinal. Sementara, para buruh sadap biasanya akan mencari pekerjaan sebagai buruh ditempat lain menjelang musim penghujan berakhir.

Adrinal mengaku, hingga kini memang belum ada bimbingan soal pembentukan koperasi. "Idealnya, petani dibekali lembaga perekonomian untuk menghadapi masa masa sulit seperti ini, biar petani karet tidak menghadapi banyak persoalan saat masa paceklik ini datang," kata Adrinal.

Penulis: Yusril Budidarma, A.Md
Berikan Reaksi Anda:

Komentar

Belum ada komentar.

Share :

Kategori

Please enter your name.
Please enter a valid email.
Please write a comment.