Pesisir Selatan tidak hanya dikenal dengan panorama alamnya yang indah, tetapi juga menyimpan warisan teknologi bersejarah yang menandai babak penting perkembangan energi di Indonesia. Di Nagari Salido Ketek, Kecamatan IV Jurai, berdiri Pembangkit Listrik Tenaga Minihidro (PLTM) Salido Ketek, yang tercatat sebagai pembangkit listrik tenaga air tertua di Indonesia, dibangun sejak tahun 1912 pada masa pemerintahan kolonial Belanda.
Pembangunan PLTM Salido Ketek menjadi tonggak penting dalam sejarah energi Nusantara. Seluruh bahan dan peralatan utama untuk pembangunan pembangkit listrik ini didatangkan langsung dari Belanda. Barang-barang tersebut dikirim melalui pelabuhan Emmahaven (kini Pelabuhan Teluk Bayur Padang), kemudian dilayarkan ke Teluk Painan, dibongkar di dermaga yang telah dibangun sejak tahun 1911, dan selanjutnya diangkut ke perbukitan Salido menggunakan lori dan truk.
Awalnya dermaga tersebut hanya memiliki panjang sekitar 30 meter. Namun karena sangat vital dalam kegiatan bongkar muat bahan pembangunan, pada masa itu dermaga diperpanjang lagi 20 meter agar tetap dapat digunakan meski saat air laut surut. Inilah salah satu bukti betapa strategisnya proyek PLTM Salido Ketek bagi kepentingan ekonomi dan pertambangan kala itu.
Pembangunan PLTA Salido Ketek erat kaitannya dengan potensi alam Nagari Salido. Selain memiliki perbukitan yang menyimpan kandungan emas, daerah ini juga diberkahi sumber air yang melimpah. Setelah dilakukan pengukuran, aliran air di kawasan tersebut memiliki debit antara 750 hingga 800 liter per detik dengan jarak aliran sekitar 2,6 kilometer. Kondisi ini sangat menguntungkan karena pembangkit tidak memerlukan bendungan buatan—cukup dengan tiga batu besar di dasar sungai yang mampu mengarahkan air ke dalam pipa secara alami. Dari aliran itu, dihasilkan daya yang stabil dengan kemiringan sekitar 1:400, menciptakan kecepatan air sekitar 1 meter per detik.
Keunggulan teknik ini menunjukkan betapa majunya pemikiran dan perencanaan teknologi Belanda pada masa itu. Selain untuk mendukung kegiatan tambang emas, PLTA ini juga menunjang transportasi dan pengadaan barang di kawasan tersebut. Banyak tenaga ahli dan pekerja didatangkan dari luar negeri untuk membangun instalasi canggih yang menjadikan Salido Ketek sebagai pusat kegiatan industri dan teknologi di masa kolonial.
PLTA Salido beroperasi dengan baik hingga masa Perang Dunia II, sebelum akhirnya diambil alih oleh pemerintah Jepang. Setelah Indonesia merdeka, pembangkit ini sempat rusak akibat banjir besar yang melanda wilayah Salido. Tahun 1960, pemerintah memberikan mandat kepada PT Anggrek Mekar Sari untuk memperbaiki dan mengelola kembali PLTM tersebut. Setelah dilakukan perbaikan, PLTM Salido kembali menyala, menerangi wilayah Pesisir Selatan dan sekitarnya.
Namun, seiring berjalannya waktu, peran PLTM Salido mulai berkurang setelah Pesisir Selatan terhubung ke sistem kelistrikan Sumatera Barat melalui PLTA Maninjau. Kerja sama operasional PLTM akhirnya terhenti pada tahun 1995 karena kerusakan pada turbin-turbin utama.
Kendati demikian, nilai sejarah dan warisan teknologinya tetap abadi. Hingga kini, beberapa saluran air peninggalan PLTA Salido masih berfungsi dengan baik. Keberadaannya menjadi saksi bisu perjalanan panjang industri listrik dan pertambangan di Indonesia.
PLTM Salido Ketek bukan hanya sekadar bangunan tua, melainkan simbol kecerdasan, kerja keras, dan nilai sejarah yang melekat pada masyarakat Pesisir Selatan. Di balik bebatuan tua dan pipa-pipa logam yang masih berdiri, tersimpan cerita tentang bagaimana energi, emas, dan air pernah berpadu membentuk identitas kemajuan di bumi Ranah Pasisia.