Menelusuri kembali Jejak Ilyas Yakub, Pahlawan dari Pesisir Selatan

09 Nov 2025 19 x Dibaca
Menelusuri kembali Jejak Ilyas Yakub, Pahlawan dari Pesisir Selatan

Dalam sejarah perjuangan bangsa, nama H. Ilyas Yakub berdiri sebagai simbol keberanian dan keteguhan prinsip. Putra kelahiran Painan, Pesisir Selatan ini menjadikan pena sebagai senjata dan gagasan sebagai api perjuangan. Dari ruang kuliah di Kairo hingga pengasingan di Digul, langkahnya menorehkan kisah tentang intelektual yang berjuang demi kemerdekaan dengan keyakinan, keberanian, dan cinta tanah air yang tak pernah padam.

 

Setiap tanggal 10 November, bangsa Indonesia memperingati Hari Pahlawan sebuah momentum untuk meneladani semangat para pejuang yang rela mengorbankan segalanya demi kemerdekaan. Dari ujung Papua hingga pesisir Sumatera, kisah mereka menyatu dalam mozaik perjuangan bangsa. Di antara deretan nama besar itu, sosok Ilyas Yakub menjadi cahaya dari Pesisir Selatan, satu-satunya putra daerah yang dianugerahi gelar Pahlawan Nasional melalui Keputusan Presiden Nomor 074/TK/1999 tanggal 13 Agustus 1999. Atas jasa-jasanya, ia juga menerima tanda kehormatan Bintang Mahaputra Adipradana serta sebelumnya telah dikukuhkan sebagai Pahlawan Perintis Kemerdekaan oleh Menteri Sosial melalui SK No. Pol-61/PK/1968.

 

Ilyas Yakub lahir di Asam Kumbang, Kecamatan Bayang Utara, Kabupaten Pesisir Selatan, pada 14 Juni 1903. Ia merupakan anak ketiga dari pasangan Haji Ya’kub dan Siti Hajir. Sejak kecil, Ilyas menimba ilmu agama kepada kakeknya, Syekh Abdurrahman, seorang ulama besar di Bayang. Setelah menamatkan pendidikan di Gouvernements Inlandsche School, ia sempat bekerja sebagai juru tulis di Tambang Batubara Ombilin, Sawahlunto. Namun, pekerjaannya tak bertahan lama. Ia mengundurkan diri karena menolak perlakuan kasar terhadap buruh kontrak tanda awal bahwa semangat keadilannya telah tumbuh sejak muda.

 

Pada tahun 1923, Ilyas berangkat ke Mesir untuk memperdalam ilmu agama di Universitas Al-Azhar. Di negeri itu, semangat kebangsaan dan pemikirannya semakin matang. Ia aktif dalam berbagai organisasi seperti Hizb al-Wathan (Partai Tanah Air), Perhimpunan Mahasiswa Indonesia dan Malaysia (PMIM), serta Jam’iyat al-Khairiyah. Tidak hanya aktif berorganisasi, Ilyas juga menyalurkan gagasannya lewat media. Ia memimpin majalah Seruan Al-Azhar, yang berisi pemikiran keagamaan dan kebangsaan, serta mendirikan Pilihan Timur, sebuah majalah politik yang vokal mengkritik kolonialisme Belanda.

 

Tulisan-tulisannya yang tajam membuat pemerintah Belanda resah. Mereka menilai Ilyas sebagai tokoh radikal dan berupaya membungkam suaranya, bahkan menekan Mesir agar mengusirnya. Setelah diusir, Ilyas kembali ke tanah air dan segera terjun ke dunia pergerakan nasional.

 

Setibanya di Padang, Ilyas Yakub menggagas pendirian Persatuan Muslimin Indonesia (PERMI) pada tahun 1930 partai politik yang berasaskan Islam dan kebangsaan. Melalui PERMI, ia memadukan semangat religius dan nasionalisme untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Ia juga menerbitkan surat kabar Medan Rakyat sebagai alat propaganda politik, menyuarakan perlawanan terhadap imperialisme dan kapitalisme yang dianggap menjadi sumber penderitaan rakyat.

 

Sikap nonkooperatif PERMI terhadap pemerintah kolonial membuat Belanda gusar. Aktivitas politik Ilyas dianggap menghasut rakyat, hingga akhirnya partai itu dibekukan. Ilyas bersama dua rekannya, Mukhtar Luthfi dan Jalaluddin Thaib, ditangkap dan dipenjara di Muaro Padang selama sembilan bulan sebelum akhirnya dibuang ke Boven Digul, Papua, pada tahun 1934.

 

Selama sepuluh tahun di pengasingan Digul, Ilyas ditemani istrinya, Tinur. Kondisi di tempat itu sangat berat, penyakit, kekurangan makanan, dan isolasi menjadi bagian dari keseharian para tahanan politik. Namun, semangat juangnya tak pernah padam. Ia tetap menulis, berdiskusi, dan menanamkan harapan akan kemerdekaan di antara sesama tahanan.

 

Pada masa pendudukan Jepang, para tahanan Digul dipindahkan ke Australia. Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, sebagian besar tahanan dibebaskan, tetapi Ilyas dan keluarganya justru kembali ditawan dan dipindahkan ke Kupang, Serawak, Brunei, hingga Labuhan, Singapura. Baru pada tahun 1946, setahun setelah kemerdekaan, ia benar-benar dibebaskan oleh tentara Belanda dan kembali ke tanah air.

 

Sekembalinya ke Indonesia, Ilyas Yakub tidak berhenti mengabdi. Ia terlibat aktif dalam masa Pemerintah Darurat Republik Indonesia (1948–1949), dan kemudian dipercaya menjadi Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Sumatera Tengah (DPRST). Ia juga menjabat sebagai anggota DPRD mewakili partai Masyumi sekaligus penasihat Gubernur Sumatera Tengah bidang politik dan agama.

 

Ilyas Yakub wafat pada 2 Agustus 1958 dalam usia 55 tahun. Jenazahnya dimakamkan di Koto Berapak, Bayang, Pesisir Selatan dekat tanah kelahirannya yang selalu ia cintai.

 

Sebagai bentuk penghargaan atas jasa dan pengabdiannya, namanya diabadikan sebagai nama jalan utama dan gedung olahraga di Painan, serta sebuah patung peringatan didirikan di perempatan jalan utama menuju kota tersebut.

 

Perjalanan hidup Ilyas Yakub mengajarkan bahwa perjuangan tidak selalu di medan tempur. Ia menyalakan semangat kemerdekaan lewat pikiran, tulisan, dan keteguhan sikap. Dari Painan hingga Digul, dari pena hingga pengasingan, ia menunjukkan bahwa cinta tanah air tidak mengenal batas dan waktu.

 

Mari mengenal kembali H. Ilyas Yakub putra Bayang, Pesisir Selatan, yang namanya tercatat dalam sejarah sebagai ulama, jurnalis, dan pejuang tangguh. Ia bukan sekadar saksi zaman, tetapi penggerak yang menyalakan semangat kemerdekaan lewat pena, gagasan, dan keberanian menentang penjajahan. Dari ruang belajar di Mesir hingga pengasingan di Digul, perjuangannya menggambarkan keteguhan seorang intelektual yang tak gentar melawan ketidakadilan. Kini, saat bangsa memperingati Hari Pahlawan, sudah semestinya kita menelusuri kembali jejak langkahnya bukan sekadar untuk mengenang, tapi untuk meneladani api perjuangan yang tak pernah padam.

 

Kisahnya mengingatkan bahwa kemerdekaan bukan hanya hasil keberanian mengangkat senjata, tetapi juga buah dari keteguhan berprinsip dan keberanian bersuara, nilai yang tetap relevan untuk generasi penerus bangsa di Pesisir Selatan dan seluruh Indonesia.

Penulis: Suci Mawaddah Warahmah, S.Sos
Berikan Reaksi Anda:

Komentar

Belum ada komentar.

Share :

Kategori

Please enter your name.
Please enter a valid email.
Please write a comment.