Penyusunan dan pembahasan Kebijakan Umum Anggaran serta Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (KUA–PPAS) merupakan jantung dari proses perencanaan dan penganggaran daerah. Di sinilah harmoni antara eksekutif dan legislatif diuji, antara kepentingan birokrasi dan dinamika politik daerah harus bertemu pada satu titik: kesejahteraan rakyat. Namun dalam praktiknya, dinamika politik lokal sering kali membuat proses pembahasan APBD berjalan tidak efektif, bahkan terhambat, karena kurangnya komunikasi, disiplin, dan mekanisme koordinasi yang adaptif terhadap perkembangan zaman.
Salah satu kunci memperbaiki situasi ini adalah memperkuat komitmen kelembagaan antara Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) dan Badan Anggaran DPRD (Banggar). Hubungan kedua lembaga ini tidak boleh berhenti pada formalitas rapat kerja tahunan, tetapi harus dibangun di atas komunikasi yang terbuka dan saling menghormati. UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan PP Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah menegaskan bahwa penyusunan APBD harus dilakukan secara “bersama antara kepala daerah dan DPRD”. Kata “bersama” di sini bukan hanya prosedural, tetapi juga substansial yang menuntut kolaborasi yang berorientasi hasil.
Mekanisme pre-consultation meeting antara TAPD dan Banggar menjadi inovasi kelembagaan yang penting. Forum informal pra-paripurna ini memungkinkan komunikasi awal mengenai arah kebijakan fiskal, sebelum dokumen resmi disampaikan. Langkah ini tidak hanya mencegah kesalahpahaman teknis, tetapi juga meredam potensi ketegangan politik yang sering bermuara pada aksi walk out atau penundaan rapat paripurna. Dalam perspektif tata pemerintahan modern, mekanisme konsultatif seperti ini mencerminkan prinsip good governance, yakni transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas dalam setiap tahapan kebijakan publik.
Selanjutnya, perbaikan Tata Tertib (Tatib) DPRD menjadi kebutuhan mendesak untuk menjawab tantangan birokrasi modern. Regulasi yang kaku sering kali membuat lembaga legislatif tidak adaptif terhadap situasi luar biasa, seperti pandemi atau dinamika politik lokal yang tidak menentu. Berdasarkan PP Nomor 12 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib DPRD, pasal 96–97 mengatur ketentuan kuorum dan mekanisme penundaan rapat. Namun aturan ini dapat diperkuat melalui penyesuaian Tatib internal dengan mengadopsi mekanisme hybrid meeting, di mana kehadiran dapat dilakukan secara daring dengan sistem autentikasi digital, atau pernyataan dukungan tertulis yang sah untuk keabsahan rapat paripurna dalam kondisi tertentu. Fleksibilitas ini bukan pelonggaran prosedur, tetapi penyesuaian terhadap kebutuhan efisiensi birokrasi yang tetap menjaga legitimasi keputusan politik.
Reformasi kelembagaan juga menuntut modernisasi administrasi. Karena itu, pembangunan sistem dokumentasi digital (e-Paripurna) menjadi langkah strategis untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas. Melalui e-Paripurna, daftar hadir, notulensi, hingga rekaman sidang dapat terekam secara elektronik dan terintegrasi dengan Sistem Informasi Pemerintahan Daerah (SIPD). Hal ini sejalan dengan amanat Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) yang menegaskan digitalisasi sebagai instrumen utama reformasi birokrasi. Implementasi e-Paripurna tidak hanya meningkatkan efisiensi waktu dan biaya, tetapi juga memperkuat legitimasi hukum setiap proses pengambilan keputusan, karena semua aktivitas terekam dan dapat diaudit secara real-time.
Namun teknologi dan regulasi tidak akan bermakna tanpa etika politik yang matang. Karena itu, evaluasi terhadap peran fraksi dan disiplin kehadiran anggota DPRD menjadi hal yang tidak bisa ditawar. Ketidakhadiran kolektif dalam rapat paripurna bukan sekadar tindakan politik, tetapi dapat dikategorikan sebagai pengabaian terhadap mandat konstitusional. Pasal 310 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 menegaskan bahwa penyusunan KUA–PPAS adalah kewajiban bersama antara Kepala Daerah dan DPRD. Dengan demikian, ketidakhadiran secara sistematis atau walk out politik yang menghambat proses APBD dapat dipandang sebagai bentuk ketidakpatuhan terhadap amanat undang-undang dan etika pemerintahan daerah. Oleh sebab itu, perlu dibangun mekanisme penegakan sanksi etik internal yang tegas bagi anggota DPRD atau fraksi yang tidak menunjukkan tanggung jawab konstitusionalnya.
Harmonisasi antara birokrasi dan politik bukanlah utopia, melainkan keniscayaan bagi daerah yang ingin maju. Birokrasi memerlukan stabilitas politik untuk bekerja efektif, sementara politik memerlukan birokrasi yang transparan untuk menjaga legitimasi. Dengan memperkuat koordinasi TAPD nersama Banggar DPRD, memperbaiki Tatib DPRD yang adaptif, mengimplementasikan e-Paripurna, serta menegakkan disiplin fraksi, dapat membangun ekosistem tata kelola yang modern, terbuka, dan berintegritas.
Pada akhirnya, politik yang sehat bukanlah politik yang menang-menangan, melainkan politik yang menumbuhkan saling percaya antara lembaga. Begitu pula birokrasi yang maju bukanlah yang gemerlap prosedur, tetapi yang mampu menjamin keteraturan, efisiensi, dan pelayanan publik yang nyata. Keduanya harus tumbuh bersama dalam semangat “kolaborasi untuk kesejahteraan rakyat”, bukankah ini sebuah cita-cita yang menjadi inti dari otonomi daerah yang demokratis dan berkeadaban. Aaamiin.
Ditulis oleh : Suryatmono, S.Si ( Kabid Litbang)