Literasi dan Pemerintahan: Fondasi Masyarakat Demokratis dan Berdaya

05 Nov 2025 8 x Dibaca
Literasi dan Pemerintahan: Fondasi Masyarakat Demokratis dan Berdaya

Dalam dunia modern yang ditandai oleh derasnya arus informasi dan perkembangan teknologi yang begitu cepat, literasi menjadi salah satu aspek paling fundamental dalam membangun masyarakat yang cerdas dan berdaya. Literasi tidak lagi dapat dipahami secara sempit sebagai kemampuan membaca dan menulis semata, melainkan mencakup kemampuan berpikir kritis, memahami konteks informasi, menafsirkan makna, serta menggunakan pengetahuan untuk mengambil keputusan yang tepat. Dalam konteks pemerintahan, literasi memegang peranan strategis dalam membentuk tata kelola yang transparan, akuntabel, dan partisipatif. Pemerintah yang literat dan masyarakat yang memiliki tingkat literasi tinggi akan melahirkan sistem pemerintahan yang sehat, demokratis, dan berorientasi pada kepentingan publik.

Makna literasi dalam pemerintahan sebenarnya sangat luas. Literasi bukan hanya urusan dunia pendidikan, tetapi juga merupakan kemampuan yang harus dimiliki oleh setiap individu yang terlibat dalam proses pemerintahan, baik sebagai pengambil kebijakan maupun sebagai warga negara. Aparatur pemerintahan yang memiliki literasi tinggi akan mampu memahami data dan informasi publik dengan lebih baik, menyusun kebijakan berdasarkan bukti yang valid, serta berkomunikasi secara efektif dengan masyarakat. Di sisi lain, masyarakat yang literat dapat berperan aktif dalam mengawasi, mengkritisi, dan bahkan berpartisipasi langsung dalam proses pembuatan kebijakan. Dengan demikian, literasi menjadi jembatan antara pemerintah dan rakyat, yang memungkinkan terjadinya hubungan dua arah yang sehat dan produktif.

Pemerintahan yang demokratis sejatinya tidak bisa berjalan tanpa partisipasi masyarakat. Namun, partisipasi yang bermakna hanya akan terwujud jika masyarakat memiliki tingkat literasi yang memadai. Warga negara yang literat akan mampu memahami hak dan kewajibannya, menilai janji politik dengan rasional, serta tidak mudah terpengaruh oleh informasi yang menyesatkan. Literasi politik, misalnya, memungkinkan masyarakat untuk mengenali struktur kekuasaan, proses pembuatan kebijakan, dan dampak kebijakan terhadap kehidupan mereka sehari-hari. Tanpa literasi politik yang baik, partisipasi masyarakat dalam pemerintahan sering kali bersifat simbolis dan emosional, bukan berdasarkan pemahaman dan pertimbangan rasional.

Dalam konteks pemerintahan digital, literasi juga memiliki dimensi baru, yakni literasi digital. Pemerintah yang memanfaatkan teknologi informasi dalam pelayanan publik harus memastikan bahwa masyarakat memiliki kemampuan untuk mengakses dan menggunakan platform digital dengan efektif. Literasi digital memungkinkan masyarakat memahami cara kerja sistem pemerintahan elektronik, menilai kredibilitas informasi daring, serta berpartisipasi dalam forum publik secara santun dan produktif. Sayangnya, rendahnya tingkat literasi digital di sebagian wilayah Indonesia masih menjadi tantangan serius. Ketimpangan akses terhadap internet dan keterampilan teknologi antara masyarakat kota dan desa menimbulkan kesenjangan partisipasi dalam pemerintahan digital. Akibatnya, sebagian kelompok masyarakat berisiko tertinggal dan tidak terlibat dalam proses pembangunan yang semakin berbasis teknologi.

Pemerintah memiliki tanggung jawab besar dalam membangun ekosistem literasi yang inklusif. Upaya peningkatan literasi tidak hanya dapat dilakukan melalui lembaga pendidikan formal, tetapi juga melalui kebijakan publik yang mendorong keterbukaan informasi, penyediaan akses terhadap sumber belajar, serta pelatihan bagi aparatur negara dan masyarakat. Program Gerakan Literasi Nasional (GLN) yang dicanangkan pemerintah Indonesia merupakan langkah positif dalam memperkuat budaya literasi. Namun, agar efektif, gerakan tersebut perlu diperluas cakupannya hingga ke lingkungan birokrasi, pemerintahan daerah, serta masyarakat di tingkat akar rumput. Literasi tidak boleh berhenti di ruang kelas, tetapi harus hidup dalam praktik pemerintahan sehari-hari, mulai dari proses perumusan kebijakan, penyusunan anggaran, hingga pelaksanaan pelayanan publik.

Salah satu tantangan terbesar dalam membangun literasi pemerintahan adalah rendahnya budaya membaca dan berpikir kritis di masyarakat. Arus informasi yang begitu deras di media sosial sering kali tidak diimbangi dengan kemampuan menyaring dan menganalisis konten. Akibatnya, hoaks, disinformasi, dan ujaran kebencian mudah menyebar, bahkan memengaruhi opini publik terhadap kebijakan pemerintah. Pemerintah harus tanggap terhadap fenomena ini dengan tidak hanya melakukan penegakan hukum terhadap penyebar hoaks, tetapi juga membangun kesadaran literasi digital melalui edukasi yang berkelanjutan. Literasi yang kuat akan membuat masyarakat lebih tahan terhadap manipulasi informasi dan lebih objektif dalam menilai kinerja pemerintah.

Di sisi lain, aparatur pemerintahan sendiri juga harus menjadi teladan dalam hal literasi. Literasi data, literasi informasi, dan literasi kebijakan merupakan kompetensi dasar yang wajib dimiliki oleh setiap pegawai negeri. Pengambilan keputusan yang tidak didukung oleh pemahaman data yang memadai sering kali menyebabkan kebijakan tidak efektif atau bahkan kontraproduktif. Pemerintah yang melek literasi akan lebih terbuka terhadap kritik, lebih cermat dalam merespons kebutuhan masyarakat, dan lebih bijak dalam merancang kebijakan publik. Dengan demikian, literasi bukan hanya alat bagi masyarakat untuk memahami pemerintah, tetapi juga sarana bagi pemerintah untuk melayani rakyat dengan lebih baik.

Sinergi antara literasi dan pemerintahan menjadi kunci dalam mewujudkan tata kelola yang baik (good governance). Pemerintah yang berkomitmen pada transparansi dan akuntabilitas harus memastikan bahwa informasi publik dapat diakses dengan mudah dan dipahami oleh masyarakat. Di sisi lain, masyarakat harus memiliki kemampuan untuk menginterpretasikan informasi tersebut secara kritis agar dapat berperan aktif dalam pengawasan. Literasi menciptakan ruang dialog antara pemerintah dan warga negara, di mana setiap kebijakan dapat dipertanyakan, dikritisi, dan diperbaiki melalui proses komunikasi yang sehat.

Pada akhirnya, literasi dan pemerintahan adalah dua unsur yang saling menguatkan. Literasi memperkuat kapasitas masyarakat untuk berpartisipasi, sementara pemerintahan yang terbuka mendorong tumbuhnya budaya literasi yang luas. Keduanya membentuk fondasi bagi terciptanya masyarakat yang demokratis, adil, dan berdaya saing. Di tengah tantangan globalisasi dan transformasi digital yang terus berkembang, investasi terbesar sebuah bangsa bukan hanya pada infrastruktur fisik, tetapi juga pada pembangunan literasi warga negaranya. Pemerintah dan masyarakat harus berjalan ber iringan dalam membangun kesadaran literasi sebagai bagian dari strategi pembangunan nasional. Dengan masyarakat yang literat dan pemerintahan yang transparan, Indonesia dapat melangkah menuju masa depan yang lebih cerdas, inklusif, dan berkeadaban.

Penulis: Vijehan Angkat, S.Ds.
Berikan Reaksi Anda:

Komentar

Belum ada komentar.

Share :

Kategori

Please enter your name.
Please enter a valid email.
Please write a comment.