Ketika Kicau Murai Tak Terdengar Lagi

16 Sep 2013 2061 x Dibaca

Populasi burung murai kampung (warna hitam putih-red) terus mengalami penurunan drastis akhir akhir ini di Pesisir Selatan (Pessel). Penurunan populasi murai disebabkan tingginya aktivitas penangkapan dihampir semua wilayah Pessel.

Sebagai penanda pagi telah tiba, sudah sangat jarang kita mendengar murai berkicau dari alam bebas. Suasana kampung terasa begitu asing jika dibandingkan di era tahun 90-an. Jangankan murai, burung penghisap madupun sudah berkurang jumlahnya.

Selain dengan cara dipikat, penangkapan burung murai dilakukan dengan memungut anak yang baru menetas. Aksi penangkapan burung murai terjadi akibat tingginya harga murai kampung tersebut di pasaran.

"Satu ekor murai oleh toke dibeli seharga Rp150 ribu, sementara dari toke kekonsumen bisa laku dijual Rp300-400 ribu per ekor. Tergantung kondisi murai, bila sudah mau memakan mamanan pabrikasi dan suaranya bagus, maka harganya akan naik," kata Ibel (25) warga Balai Selasa yang kesehariannya banyak dihabiskan untuk menangkap burung murai.

Ia mengaku bila nasib mujur, dalam satu hari bisa menangkap sekitar dua hingga tiga ekor burung murai, memang jauh turun dibandingkan tahun tahun sebelumnya. "Yah, tapi lumayanlah buat kebutuhan seharai hari," katanya.

Hingga kini menurutnya, tidak ada larangan menangkap burung murai. Selain Ibel, ia mengaku masih mengenal banyak lagi masyarakat yang bekerja sebagai tukang tangkap burung murai di Pesisir Selatan. Faktor pendorong tingginya ngka penangkapan burung menurutnya, selain harga tinggi, maka memelihara burung tampaknya telah menjadi gaya hidup kelas ekonomi mengegah keatas.

Meski tidak bisa di hitung populasi murai yang tersisa di Pessel, setidaknya masyarakat menyadari bahwa burung murai kini populasinya sudah turun drastis. Bahkan semenjak enam tahun belakang, akibat terjadinya penagkapan murai oelh masyarkat, murai sudah jarang terlihat.

"Biasanya bila pagi atau sore hari burung murai selalu berkicau di sekitar kampung kami, namun kini kami tidak mendengar lagi kicauan burung yang merdu suaranya itu," ujar Ariani (90) warga Tebing Tinggi, Lengayang.

Menurutnya, saat ia masih muda, ada kearifan lokal untuk menjaga populasi murai. "Misalnya dengan melarang menagkap murai, bila ditangkap maka tangan akan diserang kudis. Namun itu kini tampaknya tidak mempan lagi, masyarakat sekarang sudah pintar," katanya.

Penulis: Yusril Budidarma, A.Md
Berikan Reaksi Anda:

Komentar

Belum ada komentar.

Share :

Kategori

Please enter your name.
Please enter a valid email.
Please write a comment.