Dalam lanskap media modern yang serba cepat, jurnalisme sering diidentikkan dengan pelaporan peristiwa dan pengungkapan masalah. Berita yang menyoroti konflik, krisis, atau kontroversi seakan menjadi sajian utama media massa. Namun, di tengah derasnya arus informasi yang cenderung berfokus pada problematika, muncul satu paradigma baru yang mulai mencuri perhatian: jurnalisme solutif atau solutions journalism. Paradigma ini menempatkan jurnalis bukan hanya sebagai pelapor masalah, tetapi juga sebagai penggerak perubahan sosial melalui pemberitaan yang berorientasi pada solusi. Jurnalisme solutif bukan sekadar tren, melainkan pendekatan etis dan konstruktif yang berupaya memperbaiki cara publik memahami realitas, menumbuhkan harapan, dan mendorong tindakan nyata dalam menyelesaikan persoalan bersama.
Jurnalisme solutif lahir dari keprihatinan terhadap praktik jurnalisme konvensional yang sering kali terjebak dalam narasi pesimisme. Ketika media terus-menerus menyoroti sisi buruk kehidupan korupsi, kekerasan, bencana, atau kegagalan kebijakan muncul efek psikologis berupa kelelahan informasi (news fatigue) dan rasa putus asa di kalangan publik. Masyarakat yang setiap hari dijejali berita negatif cenderung apatis terhadap isu sosial. Di sinilah jurnalisme solutif mengambil peran. Pendekatan ini tidak menutup mata terhadap masalah, tetapi melengkapinya dengan upaya mencari dan menyajikan solusi yang terbukti efektif. Ia mengajak audiens untuk melihat bahwa di balik setiap masalah, selalu ada pihak-pihak yang berjuang mencari jalan keluar dan membuat perbedaan.
Konsep jurnalisme solutif pertama kali dipopulerkan oleh Solutions Journalism Network (SJN) di Amerika Serikat, yang mendorong media agar tidak berhenti pada pelaporan problem, tetapi juga menggali bagaimana orang, komunitas, atau lembaga mencoba mengatasinya. Jurnalisme jenis ini tidak bermaksud menjadi propaganda atau publisitas program sosial, melainkan tetap menjaga prinsip kritis, akurasi, dan keseimbangan. Bedanya, fokus liputannya terletak pada efektivitas solusi, bukan sekadar niat baik. Dalam kerangka ini, jurnalis tetap bertugas menguji klaim, menelusuri data, dan menilai keberhasilan atau keterbatasan solusi yang diangkat. Dengan demikian, jurnalisme solutif menggabungkan sisi investigatif dengan konstruktivisme sosial.
Ciri utama jurnalisme solutif adalah fokus pada what works apa yang berhasil. Berbeda dengan berita konvensional yang berhenti pada what went wrong atau apa yang salah, pendekatan ini justru menggali praktik baik di lapangan. Misalnya, alih-alih hanya melaporkan angka kemiskinan yang meningkat, jurnalis solutif akan menelusuri inisiatif warga yang berhasil meningkatkan ekonomi lokal dengan cara berkelanjutan. Dalam isu pendidikan, liputan tidak hanya menyoroti rendahnya mutu sekolah, tetapi juga menampilkan sekolah-sekolah yang sukses memperbaiki mutu belajar melalui metode inovatif. Dengan cara ini, berita tidak sekadar menginformasikan, tetapi juga menginspirasi dan mengedukasi.
Jurnalisme solutif juga mendorong partisipasi publik. Ketika masyarakat melihat adanya contoh nyata solusi yang berhasil, mereka terdorong untuk meniru, berkolaborasi, atau bahkan menciptakan solusi baru. Dampaknya sangat signifikan terhadap pembentukan opini publik. Alih-alih menciptakan ketakutan atau kebencian, berita solutif menumbuhkan empati, rasa tanggung jawab, dan semangat gotong royong. Dalam konteks sosial Indonesia yang sarat dengan semangat kebersamaan, pendekatan seperti ini sangat relevan untuk memperkuat kohesi sosial dan menumbuhkan optimisme nasional.
Namun, jurnalisme solutif tidak berarti jurnalisme yang “positif” atau sekadar “berita baik.” Ini adalah kesalahpahaman umum yang perlu diluruskan. Jurnalisme solutif bukan tentang menutupi masalah dengan optimisme palsu. Ia tetap mengakui adanya masalah serius, tetapi tidak berhenti di situ. Jurnalis tetap harus bersikap kritis terhadap efektivitas solusi yang diangkat. Misalnya, jika ada program sosial pemerintah yang diklaim berhasil mengurangi angka kemiskinan, jurnalis solutif tidak langsung percaya begitu saja. Ia harus memverifikasi data, mewawancarai penerima manfaat, menilai dampaknya secara independen, dan melaporkan baik keberhasilan maupun keterbatasannya. Pendekatan ini menjaga jurnalisme tetap dalam koridor etika profesional: akurat, adil, dan berbasis fakta.
Selain berdampak pada masyarakat, jurnalisme solutif juga mengubah cara kerja redaksi. Media yang mengadopsi pendekatan ini biasanya mendorong reporter untuk berpikir lebih mendalam, berjejaring lebih luas, dan melihat peristiwa dari berbagai perspektif. Alih-alih mengejar sensasi, redaksi diarahkan untuk mengejar makna dan dampak sosial. Proses peliputan menjadi lebih kolaboratif, karena jurnalis perlu berinteraksi dengan pakar, aktivis, akademisi, dan warga biasa yang menjadi bagian dari solusi. Di sisi lain, pembaca juga merasa lebih dihargai, karena mereka tidak hanya dijadikan konsumen informasi, tetapi juga mitra dalam proses perubahan.
Penerapan jurnalisme solutif di Indonesia semakin berkembang, meskipun masih menghadapi tantangan. Beberapa media seperti Kompas, Tempo, dan Narasi telah mencoba menghadirkan rubrik atau program yang menyoroti inisiatif warga dan inovasi sosial. Di tingkat lokal, banyak portal berita kecil mulai meliput kisah-kisah perubahan dari komunitas, seperti gerakan pemuda di desa yang membangun perpustakaan atau petani yang beralih ke pertanian organik untuk menjaga lingkungan. Inisiatif-inisiatif ini menunjukkan bahwa jurnalisme solutif bukan hanya wacana, tetapi bisa diterapkan secara nyata dengan hasil yang menginspirasi.
Tantangan terbesar jurnalisme solutif adalah waktu, sumber daya, dan budaya redaksi yang masih terjebak dalam paradigma “bad news is good news.” Liputan mendalam tentang solusi sering kali memerlukan riset panjang dan kunjungan lapangan yang tidak sedikit biayanya. Selain itu, tekanan ekonomi di dunia media mendorong redaksi lebih fokus pada berita cepat dan viral demi klik dan iklan. Padahal, jurnalisme solutif justru membutuhkan kedalaman dan ketekunan. Solusi dari dilema ini adalah inovasi dalam model bisnis media, misalnya melalui kolaborasi dengan lembaga filantropi, universitas, atau komunitas untuk mendukung liputan berbasis dampak sosial.
Dalam jangka panjang, jurnalisme solutif dapat menjadi pilar penting bagi masa depan media. Ia mampu memulihkan kepercayaan publik yang selama ini menurun akibat sensasionalisme dan bias pemberitaan. Dengan menghadirkan berita yang membangun, media dapat menjadi ruang pembelajaran sosial yang mempertemukan ide, inovasi, dan empati. Di era disinformasi dan polarisasi politik yang kian mengkhawatirkan, jurnalisme solutif menawarkan pendekatan yang menyejukkan dan rasional. Ia menempatkan jurnalis bukan sebagai penghasut emosi, tetapi sebagai pemandu refleksi dan perubahan.
Akhirnya, jurnalisme solutif mengembalikan jurnalisme pada makna dasarnya: melayani publik dengan informasi yang berguna untuk kehidupan bersama. Seorang jurnalis sejati tidak puas hanya dengan mengungkap apa yang salah, tetapi juga ingin tahu bagaimana sesuatu bisa diperbaiki. Ia tidak hanya melaporkan luka masyarakat, tetapi juga membantu mencari obatnya. Dalam dunia yang penuh kegaduhan, jurnalisme solutif adalah napas segar yang mengajak semua pihak untuk tidak tenggelam dalam pesimisme, melainkan bangkit dengan harapan. Karena pada akhirnya, kekuatan media bukan hanya terletak pada kemampuannya memberitakan dunia apa adanya, tetapi juga dalam menginspirasi dunia seperti yang seharusnya.