Teori Agenda Setting, yang pertama kali dirumuskan oleh Maxwell McCombs dan Donald Shaw pada awal 1970-an, menyediakan kerangka kerja yang kuat untuk memahami bagaimana media massa, khususnya pers, memengaruhi apa yang dianggap penting oleh publik. Teori ini berpendapat bahwa media tidak selalu berhasil menentukan apa yang harus dipikirkan oleh khalayak (what to think), tetapi mereka sangat berhasil menentukan tentang apa yang harus dipikirkan oleh khalayak (what to think about).
Dalam konteks nasional, ini berarti bahwa isu-isu yang secara konsisten dan menonjol ditampilkan di halaman depan surat kabar utama dan menjadi headline berita utama cenderung dianggap oleh masyarakat dan pembuat kebijakan sebagai isu yang mendesak dan prioritas.
Peran pers dalam pembentukan isu prioritas nasional sangatlah sentral. Pers bertindak sebagai gerbang informasi (gatekeeper) yang menyaring lautan peristiwa harian menjadi sejumlah kecil berita yang dianggap layak tayang. Proses penyaringan ini, yang melibatkan keputusan redaksi, nilai-nilai berita, dan kepentingan pemilik media, secara otomatis menentukan hierarki masalah yang dihadapi bangsa. Ketika media utama serentak memusatkan liputan pada satu topik, seperti kasus korupsi besar, isu lingkungan, atau krisis pangan, topik tersebut secara bertahap naik dalam peringkat kesadaran publik. Publik mulai menganggap isu tersebut sebagai masalah kolektif yang mendesak penyelesaian dari pemerintah.
Studi kasus mengenai peran pers dalam menggerakkan isu nasional seringkali memperlihatkan pola yang serupa. Ambil contoh isu lingkungan seperti deforestasi atau polusi udara. Meskipun masalah ini mungkin sudah terjadi selama bertahun-tahun, isu tersebut baru benar-benar menjadi prioritas nasional ketika media arus utama mengambil peran advokasi yang kuat. Dengan menggunakan teknik visualisasi data, wawancara mendalam dengan para ahli, dan laporan investigasi yang konsisten, pers memaksa isu ini keluar dari kolom berita spesifik dan masuk ke ranah politik publik. Pemberitaan yang intens dan berkelanjutan menciptakan climate of opinion yang menuntut tindakan nyata dari pemerintah, seperti perubahan regulasi atau penegakan hukum yang lebih ketat terhadap perusak lingkungan.
Agenda Setting bekerja dalam dua level utama. Level pertama, yang telah dibahas, adalah Agenda Setting Level 1 (salience of objects), yaitu menentukan isu apa yang penting. Level kedua adalah Agenda Setting Level 2 (salience of attributes), yang lebih halus, yaitu menentukan bagaimana isu tersebut harus dipikirkan. Artinya, pers tidak hanya memilih isu korupsi sebagai penting, tetapi juga menentukan sudut pandang atau atribut apa yang harus ditekankan apakah korupsi itu masalah moral, masalah sistemik, atau masalah penegakan hukum. Dengan menonjolkan atribut tertentu (misalnya, kerugian negara yang fantastis), media memandu interpretasi publik dan memicu respons emosional tertentu yang mendorong desakan terhadap pemerintah untuk bertindak cepat.
Dalam konteks politik, peran pers sangat vital dalam pemilihan umum. Media massa tidak hanya memberitakan siapa saja kandidat yang bertarung, tetapi juga isu-isu apa yang harus menjadi landasan kampanye.
Misalnya, jika media terus menerus meliput isu pengangguran, maka para kandidat akan merasa tertekan untuk memasukkan program penciptaan lapangan kerja sebagai agenda utama mereka. Dalam hal ini, pers tidak hanya mencerminkan realitas politik, tetapi secara aktif membentuk realitas politik itu sendiri dengan membatasi pilihan fokus publik dan kandidat. Ini menunjukkan bahwa Agenda Setting memiliki kekuatan preskriptif, bukan hanya deskriptif.
Namun, kekuatan pers dalam Agenda Setting juga menghadapi tantangan besar di era digital. Kebangkitan media sosial dan platform berita mandiri telah mendesentralisasi proses gatekeeping. Dulu, hanya segelintir redaksi besar yang memegang kendali; kini, setiap individu dapat menjadi produsen konten. Meskipun hal ini meningkatkan keberagaman isu, juga menimbulkan fenomena Agenda Setting Intermedia, di mana media arus utama kini sering kali dipengaruhi oleh tren dan viralitas isu-isu yang muncul pertama kali di media sosial. Terkadang, pers dipaksa meliput isu yang dibentuk oleh platform digital, meskipun isu tersebut mungkin minim nilai berita atau mengandung disinformasi.
Tantangan lainnya adalah risiko agenda setting yang dikendalikan oleh kepentingan pemilik modal. Ketika konglomerasi media semakin kuat, ada kekhawatiran bahwa isu-isu yang diangkat sebagai prioritas nasional mungkin tidak selalu mewakili kebutuhan publik, melainkan kepentingan ekonomi atau politik tertentu dari pihak yang memiliki media. Akibatnya, isu-isu kritis tetapi kurang menarik secara komersial, seperti pendidikan terpencil atau kesehatan masyarakat minoritas, sering kali terpinggirkan dari spotlight berita utama.
Untuk mempertahankan peran pers yang konstruktif dalam Agenda Setting, diperlukan komitmen terhadap jurnalisme investigatif yang beretika. Pers harus berupaya keras untuk mengangkat hidden agenda atau isu-isu yang sengaja diabaikan oleh kekuasaan atau kepentingan pasar. Dengan secara konsisten menempatkan isu-isu kepentingan publik sebagai prioritas editorial, pers dapat menjalankan fungsi kontrol sosialnya dengan efektif. Pers yang kuat dan independen adalah pilar penting yang memastikan bahwa agenda setting nasional didasarkan pada kebutuhan nyata masyarakat, bukan sekadar respons terhadap tekanan politik atau komersial sesaat.
Pada akhirnya, teori Agenda Setting mengajarkan kepada kita bahwa hubungan antara media, publik, dan kebijakan adalah hubungan yang dinamis dan resiprokal. Pers memiliki kekuatan unik untuk memandu perhatian publik, yang pada gilirannya menekan elit politik untuk bertindak. Memahami mekanisme Agenda Setting adalah langkah pertama bagi warga negara yang kritis untuk tidak hanya mengonsumsi berita, tetapi juga memahami bagaimana berita tersebut dirancang, dan bagaimana ia memengaruhi prioritas kolektif kita sebagai sebuah bangsa.