Pada hari ke-enam setelah pelayaran dari Muarasakai, akhirnya tiga buah kapal dari Inderapura sampai di Pantai Muara Pariaman. Rombongan yang dipimpin Menteri Sebarang laut istirahat beberapa saat di Muarapadang, sambil menunggu informasi telek sandi tentang kesediaan Panglima Habibulah menerima rombongan dari Kerajaan Indrepura. Hari menjelang sore, riak ombak pantai Pariaman hanya sekedar menggoyang-goyang kapal. Empat hari lagi, tahun akan berganti menjadi tahun 1571. Jika pertemuan berjalan lancar, berarti rombongan Menteri Seberang laut akan bertahun baru di atas kapal dalam pelayaran kembali ke Muarasakai.
Ke-tiga kapal dengan berbendera kerajaan Inderapura yang di sisinya juga dikibarkan bendera putih, sebagai simbol kedamaian, dipersilakan merapat di pelabuhan di bagian ujung selatan oleh Penguasa Pelabuhan. Pelabuhan Muara Pariaman cukup besar dan dalam sehingga memudahkan kapal untuk bergerak. Namun sebagian sandaran kapal sudah diisi oleh kapal kapal perang kerajaan Kesultanan Aceh. Tidak terlihat kapal kapal dagang. Barangkali inilah akibat nyata peperangan terhadap perputaran ekonomi daerah yang baru ditaklukan. Biasanya kapal-kapal dagang dan perniagaan menghindar untuk singgah di pelabuhan yang baru saja ditaklukkan, karena tidak jelas pengaturan, tidak tegas hukum, dan bea masuk juga sembarangan saja.
Dampak paling nyata bagi rakyat Pariaman adalah sulitnya hasil bumi, terutama kopra, dan ikan untuk diajual ke Muarapadang. Pasar jadi kacau. Dan tatanan masyarakat dan pemerintahan juga tidak tertata sebagaimana mestinya.
Setelah menunggu beberapa saat, Menteri Seberang Laut, didatangi 4 orang berpakaian hitam dengan sulamam bayangan timbul bermotif aceh dan topi khas kesultanan Aceh. Mereka langsung naik ke kapal dan menemui Menteri Seberang Laut, sambil membungkuk hormat, “Silakan Tuan Menteri naik ke darat. Tuan sudah ditunggu oleh Panglima. Menurut pengawal Panglima, Tuan Menteri dipersilakan oleh cukup dua orang saja. Rombongan yang lainnya menunggu di atas kapal saja”.
“Terimakasih atas kesediaan dan jemputan ini. Kalau begitu saya segera kehadapan Panglima dengan dua orang yang diperbolehkan”, jawab Menteri Seberang Laut.
Menteri Seberang Laut segera menunjuk Tanbaro dan seorang juru tulis sebagar pendamping beliau dalam pertemuan dengan Panglima Habibulah. Menteri dan pendamping segera turun ke darat dengan didahului oleh penjemput tadi dan diiringi oleh dua orang prajutir Kesultanan Aceh. Suasana di darat terlihat agak tegang. Dimana mana ada pasukan Aceh yang memegang pedang terhunus dan rencong dipinggang. Sementara pandangan di luar pelabuhan, yang diberi pagar pembatas, ada banyak rakyat yang melirik dengan mata kurang senang.
Sesampai di sebuah bangunan Tua terbuat dari kayu, dan berlantai tinggi, Menteri dipersilakan naik ke atas. Hanya berjarak sekitar 100 hasta dari pinggir pantai. Pintu dibuka oleh penjaga, dan menteri dan rombongan dipersilakan masuk untuk menunggu Panglima. Sejenak kemudian, pintu dibuka dari dalam ruangan sebelahnya. “Assalamualaikum, Wr Wb. Alaudin”, ucapan suara lembut dari balik pintu yang dibuka. Sesaat segera muncul seseorang yang tinggi besar dan berjambang agak lebat, serta kumis tebal.
“A’laikum salam Wr. Wb Panglima”, jawab Menteri, yang tadi dipanggil salam sebagai Alaudin oleh Panglima. Mereka berjabat tangan dengan hangat dan saling berangkulan, serta menepuk nepuk punggung masing masing, seperti halnya dua orang sahabat lama yang sudah sekian lama tidak berjumpa.
“kalau bukan kamu yang menjadi utusan, Alaudin, ku biarka saja lama menunggu. Kalau bisa sampai 7 hari 7 malam. Jangan kamu panggil aku Panglima pula. Nanti kuperlakukan kamu sebagai tawanan. Panggil aku Habibulah saja”, kata Panglima tertawa terbahak bahak. “Rupanya kamu sudah jadi orang hebat ya. Menteri Seberang Laut lagi, sama dengan menteri seberang kawasan kan?.
“Aku juga, setelah mendapat informasi dari teleksandi bahwa yang menjadi Panglima Laut adalah kamu, baru aku berani ke sini. Ya betul Habinulah. Setelah aku pulang dari Kotaraja Banda Aceh dan Malaka, aku langsung mengabdi di kerajaan. Dan dua tahun yang lalu aku diangkat menjadi Mentri seberang laut atau Mantri luar kawasan”.
“Ya udah. Sekarang apa maksud datang ke sini Din. Mau berlibur ? mau menyerangku, atau lihat lihat aku saja?”, desak panglima memanggil Menteri dengan nama kecilnya Din, sambil mempersilakan tamunya minum dan mencicipi makanan yang dihidangkan.
“Tak ada maksud apa apa yang jahat. Kami ke sini membawa perbekalan bantuan. Mana tahu kamu kekurangan pasokan pangan, dan rendang lokan yang enak sekali buat kamu”, jawab menteri santai. Tan baro dan juru tulis yang mendampingi Menteri terkesima melihat keakraban menteri seberang laut dengan Panglima Habubulah. Ini ada harapan baik dan akan lancar lancar saja, pikir Tan baro.
“Aku ke sini hanya melaksanakan tugas Kesultanan Aceh saja Din. Tidak merampok. Aku juga takut melanggar agama kita. Kerajaan hanya ingin memastikan bahwa jalur perdagangan aman dan lancar. Tidak ada hambatan di pantai barat ini, Din. Kami ke sini ditugaskan menumpas para perompak ganas dari kelompok Harimau Tambun Tulang yang terkenal ganas itu. Semenjak pemimpinnya dibunuh oleh muridnya sendiri “Si Giring Giring Perak”, kelompok Harimau Tambun Tulang pecah dan membentuk kelompok kelompok bandit yang menganggu masyarakat. Kemaren yang membakar rumah rumah penduduk bukan kami, tapi mereka sambil melarikan diri ke hutan”, jelas Panglima. Bersambung...