Jejak Rupiah dari Pesisir Selatan: Sejarah yang Hampir Terlupa

25 Aug 2025 43 x Dibaca
Jejak Rupiah dari Pesisir Selatan: Sejarah yang Hampir Terlupa

Di sebuah kabupaten yang terhampar indah di tepi Samudera Hindia, jauh dari hiruk pikuk Jakarta, tersimpan sepotong kisah berharga tentang lahirnya Rupiah. Pesisir Selatan, Sumatera Barat, bukan hanya dikenal dengan pantainya yang eksotis dan tradisi randainya yang memukau. Di tanah inilah, pada masa pergolakan, Republik Indonesia pernah mengukir sejarah dengan mencetak uangnya sendiri yang dikenal dengan istilah pitih kelambang pada tahun 1949 di Lengayang, Pesisir Selatan, berdasarkan instruksi Gubernur Militer Sumatera Barat tanggal 19 Januari 1949.

Tahun-tahun awal kemerdekaan bukanlah masa yang mudah. Republik yang baru berdiri harus menghadapi berbagai rongrongan, baik dari dalam maupun luar. Salah satu tantangan besar kala itu adalah bagaimana menjaga roda ekonomi tetap berputar di tengah blokade dan agresi militer Belanda.

Di tengah keterbatasan itulah, uang tidak lagi sekadar kertas bergambar pahlawan atau angka nominal. Ia menjelma menjadi simbol kedaulatan. Maka, ketika jalur distribusi dari pusat terhambat, pemerintah daerah mengambil langkah berani: mencetak uang sendiri.

Pesisir Selatan dan “Oeang Republik”

Di Pesisir Selatan, keputusan mencetak uang darurat bukan hanya langkah ekonomis, melainkan juga sebuah pernyataan politik. Dengan mencetak uang sendiri, pemerintah daerah menyatakan “Kami ada, dan kami bagian dari Republik!” Uang-uang itu kelak dikenal sebagai URIPS (Oeang Republik Indonesia Propinsi Sumatera) jika dilihat melalui wikepedia uang ini sudah beredar pada tahun 1947 sampai dengan 1950. Dicetak di berbagai wilayah, termasuk Painan, Pesisir Selatan. Meski sederhana dengan bahan seadanya, tinta yang tak mewah, dan kertas yang jauh dari standar modern uang tersebut beredar luas sebagai alat tukar sah di tengah rakyat.

Bayangkan, selembar kertas yang rapuh dan mungkin sudah pudar warnanya hari ini, dahulu menjadi denyut nadi perekonomian rakyat. Di pasar-pasar tradisional, ia berpindah tangan dari nelayan kepada pedagang, dari petani kopra kepada pembeli beras. Setiap lembar URIPS membawa semangat perlawanan, keberanian, dan pengakuan diri sebagai bangsa yang merdeka.
Sayangnya, kisah tentang pencetakan uang di Pesisir Selatan ini tak banyak dikenal generasi muda. Banyak yang lebih mengenal kisah uang dari Yogyakarta atau Bukittinggi, sementara peran Painan dan wilayah pesisir lainnya seolah hanya terselip di catatan kaki sejarah. Padahal, tanpa kontribusi daerah-daerah seperti Pesisir Selatan, perjuangan mempertahankan eksistensi Rupiah mungkin tak sekuat hari ini.

Kini, lembar-lembar URIPS dari Pesisir Selatan menjadi koleksi langka yang diburu para numismatis dan sejarawan. Nilainya jauh melampaui angka yang tercetak di atasnya. Ia adalah bukti nyata bahwa perjuangan mempertahankan kemerdekaan bukan hanya di medan perang, tetapi juga di balik mesin cetak yang sederhana.
Sejarah mencatat, Rupiah bukan lahir dari gedung-gedung tinggi dengan mesin modern semata. Ia juga pernah ditempa di ruang-ruang sederhana di pesisir pantai Sumatera Barat, dengan keberanian dan keteguhan hati sebagai tinta utamanya. Pesisir Selatan telah menorehkan jejak yang mungkin tak banyak diketahui, tetapi sesungguhnya sangat berarti: menjaga hidupnya sebuah bangsa melalui selembar kertas bernama Rupiah.

Penulis: Suci Mawaddah Warahmah, S.Sos
Berikan Reaksi Anda:

Komentar

Belum ada komentar.

Share :

Kategori

Please enter your name.
Please enter a valid email.
Please write a comment.