Pernahkah kamu memperhatikan berapa lama remaja menghabiskan waktu di depan layar setiap harinya? Satu jam? Dua jam? Atau bahkan lebih dari setengah hari? Apa yang dulu hanya dianggap sebagai hiburan, kini menjelma menjadi kebiasaan yang sulit dikendalikan. Inilah yang disebut internet addiction, sebuah masalah yang pelan tapi pasti merampas keseimbangan hidup mereka.
Ruang belajar pun tak lagi sunyi. Notifikasi terus berdenting, membuat konsentrasi buyar. ‘Hanya lima menit,’ pikir seorang remaja saat membuka media sosial, namun waktu melesat hingga berjam-jam. Tanpa disadari, layar kecil itu menjerat perhatian, bahkan menggeser prioritas. Tidak heran jika banyak orang tua mulai resah. ‘Kenapa anakku lebih suka menatap layar daripada menatap mata orang tuanya?’ pertanyaan ini kerap muncul di banyak rumah. Internet yang awalnya menjadi alat belajar, kini berubah menjadi ‘dunia’ yang begitu memikat. Namun, ketika remaja lebih banyak hidup di dunia maya, bagaimana dampaknya bagi masa depan mereka?
Ada banyak faktor yang membuat remaja rentan terjerat kecanduan internet. Pertama, rasa ingin tahu dan kebutuhan akan hiburan. Dunia maya menawarkan segalanya dari informasi, game, hingga interaksi sosial dalam satu genggaman. Kedua, dorongan sosial. Media sosial menciptakan ilusi kedekatan dan pengakuan, sehingga remaja merasa harus selalu online agar tidak ketinggalan tren atau kehilangan teman. Ketiga, kurangnya kontrol diri. Pada usia remaja, kemampuan mengendalikan impuls belum berkembang sempurna, sehingga godaan notifikasi sulit diabaikan. Terakhir, lingkungan yang permisif. Ketika orang tua tidak memberikan pendampingan atau aturan yang jelas, akses internet tanpa batas menjadi celah yang memperkuat kecanduan.
Kecanduan internet bukan sekadar soal waktu yang terbuang, tetapi juga berdampak pada banyak aspek kehidupan remaja. Dari sisi akademik, konsentrasi belajar menurun drastis karena fokus terpecah antara tugas dan dunia maya. Secara sosial, remaja menjadi lebih tertutup, memilih berinteraksi di layar ketimbang tatap muka. Dari segi kesehatan, paparan layar yang berlebihan memicu gangguan tidur, kelelahan mata, hingga masalah postur tubuh. Lebih jauh, dampak psikologisnya pun mengkhawatirkan mulai dari kecemasan, depresi ringan, hingga rasa kesepian yang paradoksal di tengah koneksi tanpa batas.
Mengapa hal ini terjadi? Salah satu penyebabnya adalah sifat dunia digital yang menawarkan hiburan instan. Remaja berada pada fase pencarian identitas, sehingga mereka lebih rentan mencari pengakuan melalui likes dan komentar. Fitur notifikasi yang terus muncul membuat mereka sulit melepaskan diri, sementara kurangnya pengawasan orang tua memperkuat kecenderungan ini.
Jika dibiarkan, dampaknya tak bisa dianggap sepele. Gangguan konsentrasi dalam belajar hanyalah awal. Kecanduan internet bisa berujung pada menurunnya prestasi akademik, berkurangnya interaksi sosial di dunia nyata, hingga masalah kesehatan seperti insomnia, gangguan postur tubuh, dan stres. Dalam jangka panjang, remaja yang terlalu larut dalam dunia maya berpotensi kehilangan keterampilan sosial yang penting untuk kehidupan mereka di masa depan.
Menghadapi fenomena ini memang bukan perkara mudah, namun bukan berarti mustahil. Salah satu langkah yang bisa dilakukan adalah menetapkan batasan waktu penggunaan internet setiap hari, misalnya melalui pengaturan screen time pada gawai. Selain itu, menciptakan zona bebas gadget di momen-momen tertentu, seperti saat makan bersama atau menjelang tidur, dapat membantu mengembalikan kualitas interaksi keluarga. Remaja juga perlu diarahkan untuk menemukan alternatif selain dunia maya, seperti mengikuti aktivitas fisik, mengembangkan hobi kreatif, atau terlibat dalam kegiatan sosial. Semua ini harus diiringi dengan komunikasi yang terbuka, bukan sekadar larangan, agar remaja memahami dampak yang mungkin timbul jika kecanduan internet terus berlanjut. Tak kalah penting, orang tua harus menjadi teladan dengan mengelola penggunaan gawai mereka sendiri, karena contoh nyata jauh lebih kuat daripada sekadar nasihat.