Momentum ini bukan sekadar peringatan simbolis, melainkan refleksi akan perjalanan panjang bangsa Indonesia dalam memberantas buta huruf dan membangun budaya literasi. Di era digital sekarang, Hari Aksara Nasional semakin relevan karena literasi tidak lagi hanya dimaknai sebagai kemampuan membaca dan menulis, tetapi juga sebagai keterampilan berpikir kritis, memahami informasi, dan beradaptasi dengan perkembangan teknologi.
Pasca Proklamasi Kemerdekaan, Indonesia dihadapkan pada tantangan besar: angka buta huruf yang tinggi. Jutaan rakyat belum mengenal aksara, sehingga akses terhadap informasi dan pendidikan sangat terbatas. Pemerintah bersama masyarakat kemudian menggelorakan gerakan pemberantasan buta huruf secara nasional.
Program-program literasi pun lahir, mulai dari kursus membaca menulis, sekolah rakyat, hingga program kejar paket A. Semua ini menjadi dasar bagi lahirnya Hari Aksara Nasional, yang dimaksudkan untuk menumbuhkan kesadaran bahwa literasi adalah hak dasar sekaligus kebutuhan mendasar bagi setiap warga negara.
Indonesia kaya dengan aksara tradisional. Dari Hanacaraka Jawa, Lontara Bugis-Makassar, Aksara Batak, Bali, Rejang, Sunda, hingga Pegon—semua adalah warisan budaya yang menyimpan nilai-nilai sejarah, filsafat, dan kebijaksanaan lokal. Sayangnya, globalisasi dan dominasi aksara latin membuat aksara tradisional kian terpinggirkan.
Hari Aksara Nasional seharusnya bukan hanya peringatan untuk memberantas buta huruf latin, tetapi juga panggilan untuk melestarikan dan menghidupkan kembali aksara tradisional. Karena di balik goresannya, tersimpan jati diri bangsa dan akar peradaban Nusantara.
Walau angka buta huruf terus menurun dari tahun ke tahun, Indonesia masih menghadapi tantangan serius di bidang literasi. Data UNESCO menunjukkan bahwa literasi modern tidak hanya soal membaca dan menulis, melainkan kemampuan memahami informasi, berpikir kritis, hingga melek digital.
Beberapa tantangan nyata yang dihadapi antara lain:
Di era internet, literasi mendapat makna baru. Anak muda kini lebih sering berinteraksi lewat media sosial, platform hiburan, atau aplikasi pesan instan. Maka, literasi bukan hanya soal buku, melainkan kemampuan memahami teks digital, memproduksi konten kreatif, dan menjaga etika berkomunikasi di ruang maya.
Gerakan literasi digital menjadi penting agar masyarakat tidak hanya menjadi konsumen, tetapi juga produsen informasi yang cerdas dan kritis. Literasi digital melatih masyarakat untuk:
Dengan begitu, literasi era digital bukan sekadar membaca huruf, melainkan membaca dunia.
Pemerintah telah menjalankan berbagai program untuk memperkuat literasi, seperti Gerakan Literasi Nasional (GLN), pembangunan perpustakaan desa, hingga pelatihan literasi digital. Namun, literasi bukan hanya urusan negara.
Keluarga memiliki peran penting dengan membiasakan anak membaca sejak dini. Sekolah harus menghadirkan pembelajaran yang menumbuhkan kecintaan pada literasi. Komunitas literasi, seperti taman bacaan masyarakat, kelompok diskusi, atau gerakan menulis, juga memiliki daya dorong besar. Media massa dan konten kreator pun dapat berkontribusi dengan menghadirkan informasi edukatif dan inspiratif.
Tema “Menyalakan Cahaya Pengetahuan di Era Digital” sangat tepat menggambarkan makna Hari Aksara Nasional. Literasi adalah cahaya yang mengusir kegelapan kebodohan. Dengan literasi, seseorang dapat mengakses pengetahuan, memperluas wawasan, dan meningkatkan kualitas hidup.
Di era serba cepat ini, literasi tidak lagi bisa dipandang sebelah mata. Kemampuan membaca dan menulis harus diiringi dengan keterampilan berpikir kritis, kreatif, dan adaptif. Inilah yang akan menentukan sejauh mana bangsa Indonesia mampu bersaing di kancah global.
Hari Aksara Nasional seharusnya menjadi momentum refleksi bagi semua pihak. Apakah kita sudah cukup peduli terhadap literasi di lingkungan sekitar? Apakah kita sudah ikut serta menumbuhkan budaya membaca di keluarga, sekolah, atau komunitas?
Harapannya, generasi muda Indonesia tumbuh menjadi generasi literat yang tidak hanya pandai membaca teks, tetapi juga mampu membaca situasi, membaca peluang, dan membaca masa depan.
Memperingati Hari Aksara Nasional berarti meneguhkan komitmen bahwa literasi adalah hak sekaligus kebutuhan setiap warga negara. Aksara adalah simbol pengetahuan, dan pengetahuan adalah jalan menuju kemajuan.
Di era digital yang penuh tantangan, literasi harus menyalakan cahaya, bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga bagi masyarakat dan bangsa. Karena pada akhirnya, bangsa yang mencintai aksara adalah bangsa yang mencintai ilmu, budaya, dan masa depan.