Dari Surau ke Media Sosial: Evolusi Komunikasi Publik ala Minangkabau

22 Aug 2025 2268 x Dibaca
Dari Surau ke Media Sosial: Evolusi Komunikasi Publik ala Minangkabau

Komunikasi publik merupakan salah satu kunci utama dalam membangun hubungan antara pemimpin dan masyarakat. Seiring berkembangnya zaman, cara berkomunikasi pun turut berubah mengikuti perkembangan teknologi, budaya, dan kebutuhan sosial. Di Minangkabau, komunikasi publik tidak hanya sekadar penyampaian informasi, tetapi juga mencerminkan nilai adat, agama, dan falsafah hidup masyarakatnya. Tradisi musyawarah, petatah-petitih, serta ruang-ruang sosial seperti surau, telah menjadi wadah komunikasi publik yang efektif selama berabad-abad. Namun, di era modern, ruang komunikasi itu bertransformasi, salah satunya ke dalam media sosial yang kini menjadi kanal utama interaksi masyarakat. Artikel ini mencoba melihat bagaimana komunikasi publik ala Minangkabau berevolusi, dari surau sebagai pusat interaksi sosial hingga media sosial sebagai medium baru yang tak bisa dihindari.

Surau: Ruang Komunikasi Publik Tradisional

Dalam budaya Minangkabau, surau memiliki peran yang sangat sentral. Surau bukan hanya tempat ibadah, melainkan juga menjadi pusat pendidikan, pembinaan karakter, dan komunikasi sosial. Di sanalah anak-anak muda dibimbing oleh ninik mamak, alim ulama, maupun cerdik pandai. Mereka belajar adat, agama, serta norma sosial yang harus dijalani dalam kehidupan bermasyarakat.

Surau juga menjadi ruang musyawarah. Setiap persoalan, baik kecil maupun besar, biasanya dibicarakan dalam lingkaran diskusi di surau. Petatah-petitih Minang yang kaya makna digunakan untuk menyampaikan pesan dengan bijaksana. Filosofi “bulek aia ka pambuluah, bulek kato ka mufakat” menjadi dasar komunikasi publik: segala keputusan diambil dengan musyawarah agar diterima bersama.

Dengan demikian, surau bukan sekadar bangunan fisik, tetapi simbol komunikasi publik yang mendidik, menyatukan, dan menjaga harmoni masyarakat Minangkabau.

Nilai Komunikasi Publik dalam Budaya Minangkabau

Komunikasi publik di Minangkabau sangat dipengaruhi oleh falsafah hidup masyarakatnya. Beberapa nilai penting antara lain:

  1. Musyawarah dan mufakat – segala persoalan diselesaikan dengan diskusi bersama, bukan keputusan sepihak.
  2. Petatah-petitih – bahasa kiasan yang sopan, indah, dan penuh makna digunakan untuk menyampaikan pesan tanpa menyinggung.
  3. Kolektivitas – kepentingan bersama lebih diutamakan daripada kepentingan pribadi.
  4. Religiusitas – komunikasi selalu dipandu oleh nilai agama, sejalan dengan prinsip adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah.

Nilai-nilai ini menjadikan komunikasi publik Minangkabau sarat etika, humanis, serta berorientasi pada harmoni sosial.

Peralihan dari Surau ke Media Sosial

Memasuki era modern, terutama sejak hadirnya internet dan media sosial, pola komunikasi publik masyarakat Minangkabau mengalami perubahan besar. Surau yang dulunya menjadi pusat diskusi, kini sebagian perannya digantikan oleh ruang virtual. Generasi muda Minangkabau lebih sering berdiskusi melalui WhatsApp group, Facebook, Instagram, hingga TikTok, dibandingkan duduk berlama-lama di surau.

Perubahan ini membawa dua sisi. Di satu sisi, komunikasi menjadi lebih cepat, luas, dan inklusif. Informasi tentang kegiatan adat, acara nagari, hingga keputusan ninik mamak bisa langsung tersebar ke ribuan orang dalam hitungan detik. Namun, di sisi lain, komunikasi digital juga menimbulkan risiko: informasi palsu, konflik opini, serta hilangnya nilai kesantunan dalam berbahasa yang dulu dijunjung tinggi dalam petatah-petitih Minangkabau.

Media Sosial sebagai Surau Virtual

Jika surau dulu menjadi wadah berkumpul fisik, maka media sosial kini bisa dianggap sebagai “surau virtual”. Di sana, orang Minang di seluruh dunia bisa terhubung, berdiskusi, bahkan bermusyawarah tentang persoalan nagari. Diaspora Minangkabau yang merantau di Jakarta, Malaysia, hingga Eropa, dapat tetap terlibat dalam percakapan publik melalui platform digital.

Namun, berbeda dengan surau yang dijaga oleh nilai adat dan bimbingan tokoh masyarakat, media sosial seringkali bebas tanpa batas. Akibatnya, muncul gaya komunikasi yang lebih blak-blakan, bahkan cenderung kasar, yang bertolak belakang dengan nilai petatah-petitih Minang. Tantangan besar bagi masyarakat Minangkabau hari ini adalah bagaimana menghidupkan kembali nilai adat dalam ruang komunikasi digital.

Relevansi Nilai Minangkabau dalam Era Digital

Meski ruang komunikasi telah bergeser, nilai-nilai komunikasi publik Minangkabau tetap relevan untuk diterapkan dalam media sosial:

  1. Musyawarah digital – memanfaatkan forum daring (grup atau komunitas online) untuk berdiskusi dengan etika mufakat.
  2. Bahasa santun – menjaga etika berkomentar di media sosial dengan mengadopsi semangat petatah-petitih.
  3. Transparansi informasi – menyebarkan informasi adat, acara nagari, atau keputusan publik dengan jelas dan benar, agar tidak menimbulkan salah paham.
  4. Kebersamaan – menjadikan media sosial sebagai ruang untuk memperkuat solidaritas masyarakat Minang, bukan ajang perpecahan.

Dengan menerapkan nilai-nilai ini, komunikasi publik ala Minangkabau bisa tetap hidup meski dijalankan dalam ruang digital modern.

Tantangan dan Harapan

Tantangan terbesar komunikasi publik di Minangkabau saat ini adalah bagaimana menjaga jati diri di tengah derasnya arus informasi global. Surau sebagai ruang fisik mulai kehilangan pengaruhnya, sementara media sosial membawa pola komunikasi yang cepat namun rawan konflik.

Harapannya, masyarakat Minangkabau dapat melakukan sintesis: tetap menjaga nilai adat dalam setiap percakapan publik, baik di ruang nyata maupun ruang maya. Pemimpin adat, ninik mamak, dan tokoh agama perlu aktif hadir dalam ruang digital, agar nilai-nilai Minangkabau tetap menjadi pedoman komunikasi publik generasi muda.

Perjalanan komunikasi publik Minangkabau dari surau ke media sosial adalah gambaran nyata evolusi sosial-budaya yang tak terhindarkan. Surau yang dulu menjadi pusat musyawarah kini bertransformasi menjadi forum daring yang lebih luas dan dinamis. Meski medium berubah, nilai-nilai Minangkabau seperti musyawarah, mufakat, dan kesantunan tetap relevan untuk dijaga.

Jika masyarakat Minangkabau mampu menghadirkan falsafah adat dalam ruang digital, maka komunikasi publik tidak hanya sekadar bertahan, tetapi juga menjadi semakin kuat, inklusif, dan berdaya saing di era global. Dengan demikian, warisan budaya komunikasi Minangkabau tidak akan pudar, justru semakin bersinar di tengah modernitas.

Penulis: Jordi L Maulana, S.STP
Berikan Reaksi Anda:

Komentar

Belum ada komentar.

Share :

Kategori

Please enter your name.
Please enter a valid email.
Please write a comment.