7-3-2018 : Rintihan hati seorang pelaut

07 Mar 2018 805 x Dibaca

Sesuai dengan arahan dan kesimpulan ahli bintang serta para penasehat kerajaan, laut samudera tenang tenang saja. Selepas dari Muara Gedang, tempat pertemuan air tawar dengan air laut,  tidak banyak masalah dalam pelayaran.  Sesekali ada gelombang-gelombang kecil menerjang kapal. Tapi tidak membuat pelayaran kapal terganggu, hanya goncangan goncangan kecil, sehingga tidak mengganggu istirahat prajurit.

Di Muara Air Haji banyak nelayan melambaikan tangan ke arah kapal kerajaan. Para nelayan sudah tahu dengan kapal kerajaan dari bendara hitam, merah dan kuning, yang melintang ke bawah. Mereka merasa aman karena ada kapal kerajaan melintas. Disamping itu, para nelayan juga mengetahui gambar burung elang laut dengan kepak garuda di kiri kanannya, sebagai simbol angkatan perang kapal kerajaan.

Matahari telah mulai terbenam di belahan barat. Bulan mulai menampakkan diri. Angin dingin samudera lepas berembus lembut. Rombongan kapal sudah memasuki lepas pantai Muara Semedang. Sebentar lagi akan memasuki pesisir barat pantai Kambang, yang terkenal cukup kuat arus gelombangnya. Arus gelombang pesisir pantai kambang relatif agak besar, karena tidak ada satu pun pulau yang menghalangi terjangan arus laut. Sepanjang mata memandang hanya samudera luas. Nakhoda sangat hati hati mengendalikan kapal di sekitar pesisir pantai kambang. Kalau tidak ada halangan gelombang besar, pada dini hari menjelang pagi  kapal sudah berlayar di depan Muara Surantih.   

Malam larut. Hanya beberapa orang anak buah kapal yang masih bangun, yang kebetulan  mendapat tugas jaga menempati posisi mereka masing masing. Tapi tidak dengan Tan Baro. Hanya sebentar dia bisa tidur nyenyak, sudah terbangun lagi. Di kamar sebelahnya, Menteri Seberang Laut tidur dengan nyenyaknya. Tan Baro berusaha menulis atas apa yang berkecamuk  dalam dirinya saat ini. Gumpalan gumpalan perasaan yang menohok. Jeritan hati terhadap masa lalu, yang tidak pernah tegas. Kata orang dia kuat dan tegas di pelabuhan, tapi ternyata dia lemah dalam hal-hal seperti ini. Kini saatnya dia harus kuat. Dia lukiskan perasaannya dengan sebuah puisi berikut:

“Malam hening menjelang pagi,              

ditemani dinginnya angin samudera luas, 

tapi hatiku tak bebas,  

hatiku menjerit gundah gelundah,

ku lampiaskan ke ujung langit batas samudera,  

dalam alunan temaran bintang bintang,

 

Angin malam menusuk kulit, 

melintas pesisir barat kerajaan, 

tak ku perhatikan lagi canda samudera,

tak kupedulikan lagi bintang di langit,

biar badan tertusuk rencong,

kan kupertahan nama kerajaan,

demi kau yang menggetarkan jiwa,

demi kerajaan tempat lahirku,”  rintihan puisi Tan baro.

 

Menteri Seberang Laut keluar kamarnya, karena hari sudah mulai menjelang pagi. Menteri melihat Tan Baro sedang menulis sesuatu. Tapi dibiarkannya saja. Menteri sengaja tidak mau mengangganggu konsentrasi Tan baro.

Kertas coret-coretan puisi tadi dilipatnya. Disimpannya dalam tas pakaiannya. Menjelang fajar, karena ngantuk sekali, Tan baro tertidur kembali. Dalam mimpi-mimpinya. 

Menteri berdiri di pinggiran kapal, memegang sandaran tali kapal, dan melihat ke laut lepas. Merenung sebelum subuh masuk. Betapa tenteramnya kehidupan rakyat kerajaan, pikir Menteri Seberang Laut. Alangkah jahatnya bagi yang merusak ketenteraman rakyat kecil dalam memenuhi kehidupannya. Namun tetap saja ada kelompok yang tak pernah puas. Tapi itulah nafsu keserakahan kekuasaan, yang tidak pernah cukup dengan yang sudah dimiliki. Selalu ingin mencari, menambah, menguasai, menaklukan, dan bahkan membunuh demi memenuhi nafsu keserakahan. Kenapa Kesultanan Aceh melakukannya. Pada hal bertentangan dengan agama yang dianut kerajaan. Nanti akan saya tanyakan kepada Panglima Laut Kerajaan Aceh, yang kebetulan kawan lama, menteri membatin.  

Kelap kelip lampu di pinggir pantai sudah mulai banyak, menandakan para pelaut mulai turun kelaut untuk menangkap ikan dengan cara pukat atau pancing. Biasanya nelayan pergi pagi  untuk memancing ikan ikan di lokasi sekitar pesisir. Nanti menjelang matahari naik para nelayan pulang, dengan membawa ikan hasil tangkapannya. Ikan yang diperoleh dengan memancing, biasanya ikan-ikan besar dan bagus.  Mereka tidak terlalu jauh dari pantai karena keterbatasan tenaga untuk mendayung jauh ke tengah.

Demikian juga nelayan yang berkelompok untuk memukat. Beberapa orang pergi  memasang jaring pukat ke tengah laut, sebatas panjangnya tali penghela. Setelah dipasang di tengah laut ujung jaring pukat, talinya diantar ke tepi laut, dan ditarik bersama sama dalam dua kelompok. Pukat biasanya menjaring hamparan ikan yang ditepi pantai.   Ikannya tidak terlalu besar, tapi cukup banyak.

Menjelang pagi, ketika fajar mulai muncul di ufuk timur, kapal merapat di pelabuhan Batang kapas. Pelabuhannya tidak terlalu lebar. Beberapa perahu kerajaan Batangkapas telah memberi aba aba terhadap Kapal kapal kerajaan Inderapura. Banyak nelayan telah mulai mendayung ke laut lepas mencari ikan. Setelah mendapat tambatan, sauh segera diturunkan. Para komandan kapal mengumumkan bahwa istirahat akan dilakukan hingga menjelang matahari condong ke barat. Jadi cukup lama untuk dapat melihat lihat pelabuhan Batangkapas, sebelum dilanjutkan pelayaran ke Muara Padang.

Sultan Batangkapas, sebagai daerah bawahan kerajaan Inderapura telah siap siap menerima kedatangan Menteri Sebarang Laut beserta segenap prajuritnya. Sultan Batangkapas sudah mendapat pesan dari telek sandi, yang disampaikan secara bertahap atas perintah Menteri Raja Prang. Walaupun sangat mendadak, tapi Sultan Batangkapas dapat mempersiapkan makanan dan buah buahan untuk semua rombongan Menteri Seberang Laut.

Setelah sholat Zuhur,  Menteri Seberang laut dan rombongan berangkat menuju pelabuhan Muara Padang dan terus ke Pariaman

Penulis: erizon
Berikan Reaksi Anda:

Komentar

Belum ada komentar.

Share :

Please enter your name.
Please enter a valid email.
Please write a comment.