6-3-2018 : Kami akan Segera Kembali ke Muara sakai !

06 Mar 2018 1291 x Dibaca

Sudah sekian banyak wanita yang dilihat Tan Baro di Kota Raja dalam beberapa tahun ini, hanya putri dewi yang membuat hatinya tidak tenang dari tadi. Ketenangan hatinya terganggu. Dia sendiri juga bimbang, karena sesungguhnya dia juga tidak tahu, akankah perasaan yang dirasakannya sama dengan yang dirasakan Putri Dewi. Dia juga tidak mengetahui, apakah mata putri dewi benar benar pernah meliriknya, seperti dia sengaja melirik Putri. Ah, mimpi, pikir Tan Baro.

Tapi Tan Baro sungguh sungguh. Aku jatuh cinta, pikir Tan Baro. Kalau tidak sekarang, kapan lagi. Jika tak akan dibuat malu oleh kerajaan, barangkali Tan baro jadi ragu ragu untuk  berangkat. Ia ingin segera menemui Putri Dewi. Namun ia bertekad mengalahkan perasaannya. “Ah tidak, aku harus berangkat. Toh, puisi tadi menunjukkan kebanggaan Putri Dewi dengan semua yang berangkat” pikir Tan baro menyemangat.

Setelah gerak tari akan berakhir dengan langkah pelan menghentak, para prajurit berangsur naik kapal. Panas menyengat, seiring matahari telah hampir tegak sejajar dengan bayangan. Layar mulai dikembangkan, sauh diangkat anak buah kapal, dayung segera disiapkan. Para pendayung telah berada pada posisinya.

Bunyi serunai kapal tanda akan berangkat menambah kesyahduan suasana keberangkatan. Banyak mata dan pikiran yang berkecamuk  menyaksikan keberangkatan kapal kapal itu. Apakah mereka akan kembali, atau kalah bersimbah darah, dan tidak kembali lagi. Atau dilecehkan oleh Panglima Perang Aceh di Pariaman, dan ditahan. Sebagian besar peserta upacara dan rakyat yang berdiri di pinggir pelabuhan hanya dapat menyaksikan dengan mata berkaca kaca. Keluarga Menteri Seberang Laut, yang memimpin misi ke Pariaman, Keluarga Panglima Panamban, yang memimpin ke Ketaun, para istri prajurit melambaikan tangan yang makin lama makin jauh, seiring gerak kapal menuju laut lepas.    

Sultan dan keluarga pun melambaikan tangan sambil mengusap air mata yang mulai menetes, sebagai ungkapan rasa bangga dan patriotisme terhadap kerajaan. Putri Dewi malah berdiri melambaikan tangan entah kepada siapa. Mengayun-ngayunkan selendang merah jingga, yang dari tadi melingkar di lehernya. Untuk semua prajurit hebat Indrapura, pikirnya.  

“Kami akan segera kembali:  Muarasakai!”, teriak semua prajurit dari atas kapal sambil mengacungkan tangannya. Muara sakai, pelabuhan yang indah dan tenang dengan ayunan riak jernihnya Batang Lunang yang menyatu dengan Batang Tapan. Pelabuhan yang menjadi urat nadi kerajaan. Pelabuhan yang menopang perekonomian rakyat kerajaan selama beberapa abad. Makin hari kesibukan hilir mudik kapal kapal dagang di pelabuhan Muarasakai semakin menunjukkan kekuatan kerajaan. Bertambah ramai pelabuhan makin kuat ekonomi kerajaan.   

Setelah teriakan tadi parajurit kembali ke tempat masing –masing, sesuai dengan yang sudah diatur para komandan kapal. Tan Baro yang berdiri di haluan kapal paling ujung, masih berdiri melambaikan sebuah sapu tangan merah. Walaupun belum terkatakan, hatinya telah mulai memilih. Pikirannya mengalir hanyut pada suatu muara, pada seseorang. Perasaannya menyibak dari segala macam rasa yang hinggap di hatinya. Barangkali memang segala sesuatu ada saatnya, ada tempatnya, pikir Tan Baro. “Allah Maha Tahu, Allah Maha memutuskan. Allah yang menetapkan saatnya”, kata Tan Baro pelan kepada dirinya sendiri. Mudah mudahan kami semua kembali dengan selamat ke pelabuhan Muarasakai ini.

Tan Baro, yang  karena kesibukannya memimpin salah satu pelabuhan tersibuk di pantai barat, seperti tak pernah ingat akan umurnya yang telah memasuki usia sangat dewasa. Pada hal, ia pernah jatuh cinta dengan seorang gadis, tapi terlanjur putus asa karena sesuatu hal.  

Beberapa tahun yang lalu, ketika baru pulang sekolah dari Malaka, saat baru mengabdi sebagai abdi kerajaan di pelabuhan. Ia berkenalan dengan seorang gadis. Perkenalan itu tanpa sengaja saat mau sholat ashar, di pelataran Mesjid Agung, Kota raja Indrapura. Seiring waktu, berminggu berganti bulan, merasa cocok satu sama lain.

Dia jatuh cinta dan sangat senang. Gadis itu berasal dari Air Pura yang masih kerabat Hulu  Air Pura,  salah satu penguasa dari hulu yang enam di kerajaan Inderapura. Tapi tidak jadi berlanjut, karena gadis cantik itu terpaksa menikah dengan seorang pedagang setempat, dengan memanfaatkan jasa seorang dukun yang menggunakan guna-guna gasing tengkorak.

Gasing yang terbuat dari tengkorak manusia. Tengkorak bagian tengah sebesar tempurung kelapa. Di tengahnya dibuat lubang dua buah, kemudian dimasukkan bekas kain kafan yang sudah dipilin halus hingga menyerupai tali. Oleh si dukun, gasing dimainkan dengan cara menarik-narik tali kainnya  dari empu kakinya dengan jari telunjuk, sambil mendendangkan guna guna terhadap gadis yang dituju. Guna guna itu merupakan doa sumpah serapah yang dimintakan kepada setan, agar si-gadis datang mencari pria yang memesan.  

Hanya karena gadis itu mengeluarkan kata mengumpat kepada pedagang itu, akibat perbuatan pedagang itu yang kurang disenanginya di tengah pasar. Dengan berbekal rasa sakit hati, pedagang itu meminta si dukun melakukan hal yang tidak terpuji dengan menggasing gadis itu semalam suntuk. Akibat tarikan ilmu gasing, gadis itu melarikan diri dari rumah orang tuanya pada malam dini hari, di hari kedua gasing dimainkan, mencari lelaki itu sebagai lelaki impiannya. Karena sigadis mengejar-ngejar pedagang itu pada malam hari ke rumahnya, maka keluarga perempuan menanggung malu. Akhirnya keluarga si gadis terpaksa menikahkannya dengan pedagang itu.   

Semenjak itu, Tan Baro tak pernah lagi memikirkan seorang wanita. Pada hal secara ekonomi dia sudah sangat berkecukupan, memiliki pengaruh kuat di kalangan pemerintahan kerajaan. Gagah dan kuat fisiknya. Walau bapak dan ibunya sudah sering mencarikan jodoh untuknya, tapi selalu ditolak dengan halus.  Bahkan ada juga menteri yang ingin menjodohkan Tan Baro dengan putrinya, tapi selalu ditolak dengan halus.

Tapi hari ini, saat matahari menjelang tegak lurus menghimpit bayangan, menjelang sebentar lagi beduk besar, sebagai tanda sholat zuhur masuk,   akan ditabuh dari Mesjid Agung kerajaan,  hatinya tak pernah henti bergetar. Ada sosok bayangan yang mulai menggoyahkan ketahanan hatinya. Sapu tangan merah itu terus dilambai-lambaikannya. Matanya tertuju pada sosok seorang gadis yang sangat cantik, yang baru saja dilihatnya. Walau gadis itu belum tentu melihatnya.

Tanpa diketahuinya dari saat kapal mulai akan bergerak,  Tan Baro diperhatikan oleh Menteri Seberang Laut, sang pemimpin rombongan.

“Siapa yang engkau lambaikan, Tan baro? Sudahlah”, ucap Menteri tiba tiba sambil memegang pundak Tan Baro.  “Insyaallah kita akan kembali ke Muara sakai ini. Berdoalah Tan Baro. Jangan larut dengan perasaan. Hari ini kamu adalah prajurit”, sambungnya.

Malu malu Tan Baro menjawab “Ah tidak siapa siapa Menteri. Untuk Rakyat Inderapura. Seluruh rakyat. Dan Alam Luas kerajaan yang kulambaikan”.

“Oyaa, tapi saya perhatiakan dari tadi, seperti ada ada seseorang yang engkau perhatian. Kalau iya, juga bagus, kalau tidak juga tidak apa apa. Ayo kita ke kamar Nakhoda”, ajak Menteri seberang laut. Mereka beriring berjalan ke arah kamar nakhoda untuk mengamati  kiri kanan sungai yang sudah mulai di tempati penduduk menjadi kampung-kampung sepanjang sungai kerajaan.

Kapal terus bergerak menyusuri muara. Angin siang telah mendorong layar. Gerakan kapal mulai agak cepat. Beberapa saat lagi kapal akan memasuki Muaragedang. Pada saat menjelang sore kapal memasuki laut samudera pantai barat. Tiga buah kapal yang disasarkan untuk membasmi perompak simata satu akan berlayar ke Ketaun, melewati pantai Simbungo dan Muko muko yang bergelombang besar. Sedang tiga buah kapal diplomasi akan berlayar ke utara melewati Air haji, Muara Sumedang, Muara kambang, dan nanti akan istirahat sejenak di Batangkapas, sebelum dilanjutkan ke Muara Padang.

Selama perjalanan, Tan Barok tidak banyak bicara. Sedangkan menteri Seberang Laut memanfaatkan waktu istirahatnya dengan tidur sejenak. Semua prajurit sudah dibagi tugas oleh Menteri seberang laut. Setiap kapal berisi 20 orang prajurit, dan 8 orang anak buah kapal. Para pendayung akan bergantian setiap 6 jam. Dua  orang pengatur layar, 2 orang memasak, dan 1 orang telek sandi. Yang lain istirahat.   Dengan demikian, keteraturan akan terjaga selama pelayaran. Kapal kapal yang ke Ketaun juga demikian. Cuma saja, kapal yang menuju Ketaun dilengkapi dengan berbagai senjata untuk menghadapi keganasan perompak Simata satu. Bersambung ..........

Penulis: erizon
Berikan Reaksi Anda:

Komentar

Belum ada komentar.

Share :

Please enter your name.
Please enter a valid email.
Please write a comment.