Di Kesultanan Aceh ada beberapa orang pangeran yang memperoleh hak hak istimewa dari kerajaan. Hak hak istimewa mereka adalah hak keuangan yang memperoleh gaji atau pendapatan tetap tiap bulan dari kas kerajaan, hak usul kepada sultan, hak ikut sidang dewan kerajaan, dan hak imun atas tuduhan yang tak berdasar. Disamping itu, mereka juga memiliki pengawal pribadi, pembantu pribadi, dan beberapa di antaranya juga ada yang dipercaya Sultan menjadi penguasa sebagai perpanjangan tangan Sultan mengelola beberapa daerah khusus, seperti Sabang, Peurlak, Pasai, Barus dan Meulaboh.
Ada pangeran dari silisilah bapak dan ada juga dari silsilah paman Sultan. Banyak di antara mereka memiliki ambisi kekuasaan yang didesak oleh kelompok keluarga dan pengaruh para isteri masing masing. Beberapa pangeran bahkan memiliki ambisi yang tinggi untuk menjadi Sultan sebagai pengganti Sultan Ali Riayat Syah yang sudah mulai sepuh. Namun anak anak Sultan tentu juga ingin menganti ayahandanya, tapi Sultan tidak memiliki anak laki laki, yang sampai saat ini belum ada keputusan Dewan Kerajaan bahwa anak perempuan dapat menjadi Sultan. Sampai hari ini, Sultan belum pernah memberikan tanda tanda kepada siapa Sultan akan menugaskan atau melimpahkan kelanjutan kesultanan, seandainya Sultan mangkat.
Waktu berjalan seiring kemajuan kerajaan yang makin pesat. Perdagangan dengan Persia, Hadramaut, dan Portugis berkembang pesat. Pelabuhan Ulele makin ramai, terutama semenjak Portugis menduduki Malaka, dan Belanda menguasai Pulau Banda.
Putri Dewi, istri pangeran yang moderat, pintar, cerdas dan cantik dengan cepat mendapat perhatian dari Sultan dan para tokoh senior di kalangan istana. Hanya saja, sejak awal kehadirannya di Ulele, beberapa pangeran merasa tidak suka kepada Putri Dewi, yang secara perlahan mulai berpengaruh di lingkup istana. Sedangkan Pangeran Firmansyah, disibukkan tugas-tugas yang diberikan Sultan sebagai kepala logistik Prajurit Kesultanan Aceh, baik yang berada di daerah jajahan maupun yang di dalam kerajaan.
Kebiasaan Putri Dewi, sebagai wanita pesisir Minangkabau, pandai memasak dan bertutur kata cerdas telah menjadi pembicaraan banyak orang di Ulele. Pada saat saat tertentu, ia melakukan pembinaan-pembinaan terhadap kelompok wanita pedagang dan nelayan di sekitar Ulele dan Banda Aceh.
Setiap hari Jumat, Putri Dewi sering mengundang Sultan dan keluarga makan siang bersama menikmati masakan Putri Dewi yang sangat lezat. Putri Dewi sering memasak lokan dan kepala ikan, ala masakan Inderapura, yang dimasak dengan santan pekat buah kelapa tua dan berbagai bumbu khas Inderapura, ternyata sangat digemari Sultan. Hal ini telah menimbulkan kecemburuan banyak pihak di istana, karena seringnya Sultan berkunjung ke rumah Pangeran Firmansyah untuk makan siang.
Dalam kesempatan itu, kadang kadang Putri Dewi juga memberikan pandangan-pandangan mengenai kemajuan kerajaan di masa yang akan datang. Bahkan Putri Dewi di suatu kesempatan memberikan saran kepada Sultan agar menyerang Portugis di Malaka, yang memang dilakukan oleh Sultan, sehingga memaksa Portugis berunding dengan Kesultanan Aceh. Pada saat lain Putri Dewi memberikan saran kepada Sultan untuk memperbanyak sekolah madrasyah, yang juga dilaksanakan Sultan di banyak tempat di kerajaan.
Di lain kesempatan, Putri Dewi memohon kepada Sultan agar prajurit yang dibawanya dari Inderapura dapat menjadi prajurit istana, karena mereka adalah prajurit yang terlatih dan ahli olah kanuragan. Setelah dipertimbangkan Sultan, akhirnya dikabulkan. Dan prajurit yang 40 orang itu menjadi pengawal istana sekaligus pengawal Pangeran Firmansyah dan Putri Dewi.
Siiring dengan waktu yang terus berjalan, para pangeran makin cemburu kepada Pangeran Firmansyah dan Putri Dewi. Suatu saat pernah terjadi, pada malam yang sangat gelap dan hujan besar, terjadi percobaan pembunuhan terhadap Pangeran Firmansyah dan Putri Dewi, tapi dapat digagalkan oleh pengawal yang dibawa Putri Dewi dari Inderapura. Intrik dan saling curiga makin mendalam di kalangan Istana.
Pada tahun kedua perkawinan mereka, Putri Dewi dikaruniai seorang anak laki laki. Putri Dewi makin sibuk dengan berbagai kegiatan istana, dan kemasyarakatan di Ulele. Ditambah lagi dengan pengangkatan Putri Dewi oleh Sultan sebagai panasehat Sultan di bidang pembangunan pendidikan. Masyarakat semakin dekat karena pergaulannya yang mudah dengan masyarakat membuat putri Dewi menjadi salah satu keluarga istana yang paling dikenal masyarakat.
Pada Tahun ketuga Putri Dewi di Ulele, guna mendukung dan membantunya sehari hari, putri dewi mengundang adiknya, yakni Pangeran Buyung ke Ulele. Pangeran Buyung cerdas, dan memiliki ilmu silat yang baik. Memang tidak sekolah di Malaka, seperti Putri Dewi, namun Pangeran Buyung banyak belajar di Inderapura dan suka membaca buku. Bahkan Buku silat tingkat tinggi yang diberikan Tuo Magek kepada Sultan, dipelajari dengan baik oleh Pangeran Buyung. Makanya, ilmu silat Buayo Lalok tingkat tinggi telah dikuasai Pangeran Buyung dengan baik.
Kehadiran Pangeran Buyung di Ulele juga ditemani oleh Tuo Kambang, sekaligus untuk menjadi penasehat Putri Dewi, sesuai dengan pesan dan perintah Sultan Inderapura. Tuo kambang pernah menasehati Putri Dewi, “Ananda Putri Dewi, keadaan kesultanan Aceh makin sulit diterka. Apalagi Sultan sakit. Banyak lawan dan kawan yang tak jelas berada di dalam kerajaan ini. Hati hati. Waspada setiap saat”.
“Yaa. Angku. Mohon Angku bantu lindungi kita sekeluarga. Angku tidak usah pergi jauh jauh dari tempat ini, nanti dicurigai pula oleh pangeran pangeran”.
“Ya.. Angku akan tetap di rumah saja. Angku pikir, sebetulnya kesempatan ada pada Junjungan atau Suami Putri, yakni Pangeran Firmansyah. Pandai-pandai Putri dengan Sultan. Antarkan masakan kesukaan Sultan tiap hari. Kalau bisa siang menjelang makan siang. Dan kalau bisa prajurit yang Putri bawa dari Inderapura tetap dalam siaga. Jangan mereka lengah sama sekali”.
“Ya Angku. Nanti Putri laksanakan nasehat Angku. Saya berangkat dulu ke Pasar Ulele, Angku..”, kata Putri Dewi mengakhir pembicaraan. Bersambung...