“Mohon keterangan, siapa gerangan tuanku? Yang sudi mampir dan tahu dengan kesulitan kerajaan pula? Dan Tuanku ucapkan mau bermaksud hendak ke tempat Mande-rubiah pula ?”, desak Sultan kehadapan sosok yang belum Sultan kenal.
“Dulu, sekitar 4 pekan yang lalu, hamba berjanji mau bertemu dengan Tuo kambang. Mungkin pula besok. Tapi belum ada kabar beritanya. Saya dengar dia sedang rapat, dan menunggu kedatangan Sultan dalam Ruangan pertemuan istana”,
“Ooo, jadi Tuanku Tuo Malin Magek?”, Sultan terperanjat. Sultan langsung berdiri beranjak dari semedinya dan merangkul Tuo Malin Magek. Orang yang sudah sangat lama dirindukannya. Orang yang banyak membimbing beliau ketika masih muda dulu. Sultan cium tangan orang tua itu, yang entah sudah berapa umurnya. Ditatapnya kedua mata yang mulai cekung. Tuo Malin magek menepuk nepuk bahu Sultan, dan berucap,
“Sultan..., hari sudah mulai menjelang pagi. Sebaiknya segerakan pulang ke istana. Nanti ada pula gerakan, karena dianggap Sultan hilang oleh orang dekat kerajaan. Soal yang Sultan renungkan, menurut hemat hamba, disarankan sebaiknya terima saja pinangan dari Pangeran Firman Syah. Akan baik buat Inderapura dan rakyat kerajaan. Jika tidak diterima, justru ada orang yang berambisi dan bermaksud tidak terpuji, yang akan meminang Putri Dewi”, terdiam Sultan mendengar nasehat Tuo Malin magek.
Sultan terdiam sejenak, memandang jauh ke sela sela hutan bakau. Pikir Sultan, jadi Tuo Magek tahu banyak hal tentang keadaan istana. Bahkan beliau tahu juga tentang persoalan yang dibahas dari kemaren di ruang rapat istana.
Ada orang berambisi. Siapa pula dia. Ada yang bermaksud tidak baik. Apa maksudnya ini. Pikir Sultan. Lantas Tuo magek, meneruskan wejangannya, “Segeralah ke istana, seluruh peserta sidang termasuk tamu dari kesultanan Aceh masih menunggu Sultan. Mereka semua resah. Hamba berencana akan mengirim sebuah kitab silat utama kepada Tuo kambang dalam rencana pertemuan beberapa hari ke depan untuk diberikan kehadapan sultan. Kebetulan kita bertemu tanpa sengaja hari ini. Bawa sajalah oleh Sultan. Ini kitab merupakan penyempurnaan dari ‘Kitab Pelangi Sore Menerjang Samudera’, yang sudah hamba perbaiki”.
“Penyempurnaan ilmu silat buayo lalok?”, desak Sultan. Sultan teringat pengajaran yang diberikan oleh Tua Magek beberapa puluh tahun yang silam.
“Yaa”, jawab Tuo magek mengangguk lambat, “ Sultan baca dan Sultan rangkai agar menjadi seni yang tinggi bagi kerajaan. Akan menjadi seni bela diri silek buayo lalok yang mumpuni suatu saat bagi keturunan kerajaan Inderapura. Sebentar lagi akan terjadi huru hara di Ibu kota. Sampaikan salam buat Tuo Kambang. Tolong pesan ke beliau, mungkin sudah tak perlu lagi kami bersua, karena maksud pertemuan sudah kesampaian hari inii”.
Sultan mengangguk-angguk. Dan kembali merangkul orang tua itu. “Tuo, jika ada waktu, mampirlah ke istana, atau kami yang akan menjenguk Tuo. Dimana kira-kira bisa kami bersua kembali dengan Tuo”.
“Insyaallah. Jika ada izin Allah. Ini pertemuan kita juga sudah kesampaian. Aku sudah sangat renta. Jika umur sudah tidak ada lagi, Aku minta maaf buat semua di Istana. Jaga kerajaan baik baik, Sultan. Jangan buku itu sampai jatuh ke tangan orang jahat, Sultan”.
“Ya Tuo. Kira kira siapa gerangan yang akan mengacau atau membuat huru hara di Inderapura Tuo?” desak Sultan.
“Cepat sajalah pulang ke istana. Nanti juga Sultan akan tahu siapa dalangnya. Tapi menurut hemat hamba, akan dapat Sultan selesaikan dengan baik. Nanti jika ada dua ekor kelewar masuk ke ruang pribadi Sultan, itu tandanya hamba sudah dipanggil Allah”, kata Tuo itu mengakiri ucapannya. Dia langsung menghilang. Melayang jauh melanjutkan perjalanannya ke Lunang.
Hari menjelang subuh, fajar mulai memantulkan cahaya putih. Dengan gerakan cepat Sultan bergegas meninggalkan tempat semedinya. Jika orang biasa akan sulit ke luar dari tempat yang tersembunyi itu. Di kelilingi rawa bakau dan rawa mangrove yang banyak dihuni buaya dan binatang buas lainnya. Dengan gerakan yang lincah, sultan menginjak muara, terus dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh, Sultan berlari meninggalkan tempat itu. Tak lama kemudian, beliau sudah memasuki istana, dari arah belakang. Langsung masuk ke ruang pribadinya, tanpa diketahui prajurit pengawal istana. Merebahkan diri sejenak, sebelum masuk waktu subuh.
Setelah waktu subuh masuk, beliau keluar ruang pribadi menuju ruang rapat, tempat semua masih berkumpul. Para mentri dan semua yang hadir kaget dan bergembira Sultan telah datang. Sultan memberi salam, dan mengajak semua peserta rapat yang masih menunggu sambil tidur di ruangan besar istana itu. Suatu bentuk loyalitas yang sangat tinggi, menunggu kehadiran Sultan kembali. Tak ada yang keluar ruangan, kecuali Tan Baro, sebagai bentuk kesetiaan dan loyalitas yang tinggi dari semua punggawa kerajaan yang hadir. Semua yang melihat kedatangan Sultan, seperti Sultan sudah tidak memiliki masalah lagi. Sultan langsung mengajak sholat di mesjid istana, Mesjid Agung Kerajaan.
Setelah sholat subuh, dan sarapan pagi. Sidang para Menteri, penasehat senior dan tamu dari kesultanan Aceh dilanjutkan guna membahas surat pinangan Pangeran Firman Syah. Sultan menceritakan semua pengalaman spritual beliau semalam, mulai dari pembahasan dengan putri dan keluarga besar di ruang pribadi, hingga pertemuan beliau tanpa sengaja dalam semedi beliau di hulu Muarasakai dengan sesepuh kerajaan yang tetap membela dan mengawasi kerajaan, yakni Tuo Malin Magek.
Semua yang hadir terpesona dan kagum dengan kehebatan Sultan yang dapat pula bertemu dengan Tuo Malin Magek, yang sudah tua sekali, tapi masih mampu berjalan jauh.
Sultan memulai sidang dengan menyampaikan kesimpulan semedi beliau “Untuk kejayaan kerajaan Inderapura dan martabat rakyat kerajaan, kami dari pihak keluarga dan atas saran dari Tuo Malin Magek, akan menerima pinangan pangeran Firman Syah untuk menjadikan Putri Dewi sebagai calon istri beliau. Putri Dewi juga sudah memutuskan secara pribadi, bahwa jika untuk kerajaan dan rakyat Inderapura, apa pun akan dia lakukan”.
Semua hadirin terdiam. Hanya menganguk angguk kepala, sebagai tanda dapat memahami keputusan Sultan.
“Terimakasih Sultan. Berita gembira ini akan segera kami bawa ke Kota Ulele, Banda Aceh, untuk disampaikan kehadapan Sultan Kesultanan Aceh. Dan jika diizinkan, siang ini juga kami berangkat meninggalkan Muarasakai. Demikian sembah hamba”, sambil menjura Tengku Asmal kehadapan Sultan.
Tak lama setelah berakhirnya Tengku Asmal memberikan sembah kehadapan Sultan, dan Sultan akan mengakiri rapat agar yang hadir kembali ke tempat masing masing, tiba tiba ada sekelompok prajurit dengan tergopoh gopoh berusaha menemui Menteri Keamanan Rangkayo Raja Prang. Mereka membawa berita bahwa telah terjadi sesuatu yang mencurigakan di depan istana. Ada sekelompok prajurit, yang entah dari mana datangnya buru buru berkuda kencang ke arah pelabuhan. Mereka bersenjata lengkap. Bersambung...