19-3-2018 : Penantian Para Menteri dan Utusan Kesultanan Aceh

19 Mar 2018 445 x Dibaca

Akhirnya Perdana Menteri, mengambil alih pimpinan sidang sambil menunggu Sultan datang. Sidang dilanjutkan dengan berbagai usulan dan pertimbangan. Banyak menteri yang mengusulkan bahwa Surat dari Kesultanan Aceh adalah bentuk positif hubungan dua kerajaan  di masa depan.  

Namun ada juga yang berpendapat, ini adalah cara halus menundukkan suatu kerajaan. Pemikiran beberapa menteri dan pejabat senior demikian muncul mengingat masa lalu, seperti pernah dilakukan oleh Raja Kartanagara dari Singosari terhadap Kerajaan Darmasraya. Karena Darmasraya diancam sebagai daerah bawahan, maka Kerajaan Darmasraya terpaksa mengirim dua orang putrinya, yakni Dara Petak dan Dara Jingga ke Singosari. Ketika  Singosari runtuh dan digantikan oleh Majapahit, salah satu dari putri kerajaan Darmasraya itu, yakni Dara Petak menjadi selir dari Raja Majapahit, dan memberikan keturunan seorang anak laki laki, yakni Jayanegara, yang kelak menjadi Raja Majapahit. Sedangkan Dara Jingga diperistri oleh salah seorang Panglima Perang Singosari, dalam keadaan hamil kembali ke Darmasraya, dan memberikan keturunan, Pu Aditiawarman. 

Utusan kesultanan Aceh, Penasehat senior Sultan dan para menteri di Kerajaan Inderapura telah melakukan rapat dari pagi, hingga sore ini masih belum ada juga yang keluar. Sholat dan makan siang dilangsungkan di ruangan balai balai sebelah kanan Istana. Mereka masih menunggu kehadiran Sultan, karena semua yang hadir memperkirakan Sultan sedang berbincang dengan Tuan Putri, anak anak, dan para kerabat dekat.

Siang berganti sore, dan hingga larut malam Sultan belum juga menampakan diri. Bahkan para pengawal istana juga tidak ada yang mengetahui kemana Sultan. Dengan hati yang mendongkol dan kepala panas Tan Baro tanpa sepengatahuan yang lain, lari mengendap-ngendap ke arah belakang istana dan terus ke pelabuhan.

Tan Baro merasa sangat kecewa, karena apa yang menjadi mimpi dalam pelayarannya ke Pariaman dan kembali ke Muarasakai, layu sebelum berkembang. Tidak ada yang tahu dengan perasaan Tan Baro yang berkecamauk. Diam diam Tan Baro menjadi orang yang paling mencintai dan memuja Putri Dewi. Keinginannya untuk menemui Putri Dewi, dan memohon kehadapan Sultan meminang sebagai calon istrinya. Habislah sudah.

Tan Baro sangat kecewa, dan bagi setiap yang kecewa hanyalah muncul tindakan-tindakan yang tidak dapat diukur dengan akal sehat lagi. Dia mulai menggertakkan giginya. Mengempal tinjunya sebagai ungkapan kekesalan. Pikir Tan Baro, Inderapura ini tidak dapat memahami keadaanku. Akan kulakukan sesuatu agar Sultan dan Putri tahu bahwa aku adalah aku. Aku adalah Tan Baro, yang tidak bisa dianggap sebelah mata. Aku adalah yang paling berhak menjadi pelindung dan pemuja Putri Dewi. Tidak Pangeran Firman. Siapa dia? Mentang-mentang seorang pangeran, enak saja memaksakan kehendak dengan sepucuk surat. Aku tidak sudi. Tak akan aku biarkan kapalnya melewati Muara Gedang. Bahkan utusan itu akan kutenggalamkan di laut selepas Muara Gedang. Demikian ungkapan Tan Baro seorang diri.   

Tan Baro mencari beberapa sahabatnya, dan sekelompok prajurit yang selama ini banyak berutang budi kepadanya. Tidak sulit bagi Tan Baro. Dia banyak uang, menguasai pelabuhan, urat nadi perekonomian kerajaan. Banyak prajurit dan perwira kerajaan yang sangat dekat dengan Tan Baro.

Tan Baro mulai menghembuskan berita, bahwa Sultan akan menyerahkan kerajaan Inderapura  kepada Kesultanan Aceh. Bahkan Sultan sudah takluk, dengan menyerahkan upeti, yakni salah seorang Putrinya kepada salah seorang pangeran Kesultanan Aceh. Beberapa perwira dan sekolompok prajurit percaya dengan berita yang disampaikan Tan baro. Malam itu Tan Baro menyibukan diri dengan pertemuan pertemuan kecil dengan kelompok perwira yang sama dengan pandangannya. Perwira itu tidak mengetahui apa yang sebenarnya berkecamuk dalam kepala Tan Baro, bukan soal kerajaan, bukan pula soal takluk, tapi soal pribadinya dengan Putri Dewi, yang tak kesampaian.

Di suatu tempat, malam menjelang larut, sesosok yang dari tadi sore masih bersemadi di muara pertemuan batang Lunang dan Batang Tapan. Di bawah pohon bakau yang sudah tinggi, dengan cabang berangkai, duduk sambil bersemedi, dengan seuntai tasbih, sosok itu, yang tak lain adalah Sultan.

Dia sengaja melarikan diri dari pertemuan tadi, dan tanpa sepengatuhan yang hadir, beliau langsung menghilang jauh ke hulu muarasakai,  di antara pertemuan dua buah sungai besar itu. Dia mengadu kehadapan Tuhan dalam keheningan, dia  mencari jawaban atas kekalutan pikiran dan hatinya, antara anak kesayangan, kerajaan yang menjadi tanggung jawabnya, dan rakyat yang harus dilindunginya.   Apakah dia harus menerima pinangan dari Pangeran Firmansyah, atau apakah ini juga sekaligus ancaman terhadap kerajaan?

Malam kian larut jua. Riak riak ombak, tanda air pasang mulai naik, sudah memercak air hingga menggena kaki Sultan. Sesosok bayangan hitam melejit mendekat tempat Sultan bersemadi. Dan tak lama kemudian sosok itu duduk tak jauh dari  Sultan. “Assalamualaikum Sultan. Apa gerangan yang Sultan pikirkan hingga harus sampai ke tempat ini?”

Kaget luar biasa Sultan, karena kehadiran sosok itu dengan tidak terasa sama sekali oleh Sultan. Pikir Sultan, ini pasti orang yang berilmu sangat tinggi. Sultan memutar kepalanya mencari sosok yang mengucapkan salam. “Aialakum salam. Mohon maaf jika tempat duduk ini tempat semedi Rangkayo”, Sultan merendah.

“Bukaaan. Hamba bukan Rangkayo. Hamba adalah abdi kerajaan juga, yang sudah lama meninggalkan istana. Tadi hamba lewat sini, mau ke Lunang, ke tempat Mande Rubiah. Lantas hamba lihat Sultan sedang bersemadi. Tentu Sultan pasti dalam kesulitan, makanya Sultan datang ke sini”. Bersambung....

 

Penulis: erizon
Berikan Reaksi Anda:

Komentar

Belum ada komentar.

Share :

Please enter your name.
Please enter a valid email.
Please write a comment.