Hari menjelang sore. Matahari berangsur berubah warna menjadi merah tua. Beberapa kelompok burung bangau putih telah mulai kembali ke sarang pada pohon-pohon besar di halaman belakang istana. Tak jauh di sebelahnya, sebatang pohon beringin tua menjadi tempat bergelantungan kelong-kelong di malam hari. Burung pipit melayang-layang menuju pohon pinang tempat mereka biasa membuat sarang. Keheningan mencekam, laksana menunggu nasib yang sebentar lagi akan diputuskan.
Perdana Menteri dan Para Menteri yang hadir di ruang Balairung Sari Istana itu masih belum mengeluarkan pendapat. Menteri Rangkayo Rajo gedang, Menteri Rangkayo Rajo Gerang, Rangkayo Rajo Bungsu, Rangkayo Sangguno Dirajo, Rangkayo Rajo Perang yang bergelar juga Beringin Sakti, Rangkayo Rajo Melayu, Rangkayo Bagindo Basa, Rangkayo Rajo Johan, Rangkayo Mudo, Rangkayo Tama Alam, Maharajo Basa, Malintang Bumi, Reno Alam, Rajo Malenggang, Rajo Indo, Sati Lelo, Rajo panghulu, Rajo Lelo, Rajo Nahkodo, dan Menteri Lelo Basa masih diam juga. Belum ada tanda tanda akan ada usulan dari para menteri. Masing masing masih berfikir kira-kira apa jalan keluar dari masalah yang berat ini.
Para hulu yang enam saling pandang dengan penuh kecemasan. Panglima divisi hanya diam saja, sambil menghitung-hitung kekuatan militer kerajaan. Sedangkan Iman kerajaan berdoa agar semua ini tidak terjadi. Tan Baro Hitam duduk sambil menekur ke bawah memegang megang jari, menggesek empu dengan empu jari, seperti sedang berfikir keras. Sudah beberapa saat, masih belum ada yang memberi usulan. Masih hening. Sultan hanya diam, sambil melayangkan pandangannya kepada semua hadirin di ruangan pertemuan istana.
“Ampun Sultan,” Menteri Dalam Negeri Rangkayo Sangguno Dirajo tiba tiba memecahkan keheningan sore itu, “ Jika hamba salah. Izinkan hamba menyampaikan beberapa hal untuk Sultan pertimbangkan”, sambil menyula kedua tangannya di dada. Menteri dalam Negeri adalah kawula kerajaan yang cerdas, berwawasan politik, dan pernah belajar lama di Malaka dan Tumasek.
“Ya silakan Menteri”, jawab Sultan dengan suara agak berat.
“ Menurut hamba, jika berita sebagaimana yang Sultan sampaikan itu adanya, berarti keadaan memang cukup berat bagi kerajaan kita. Hamba sepakat dengan Sultan, agar kapal-kapal Kesultanan Aceh jangan dibiarkan sampai mendarat di Muara Padang, supaya suasana kedamaian masyarakat kita dalam kerajaan tidak terganggu. Hamba memperkirakan lambat laun, Aceh akan leluasa datang merongrong ketentraman kita jika tidak kita halangi dengan cara cara yang baik. Oleh karena itu, hamba usul agar kerajaan kita mengirim utusan ke Pariaman guna menemui Panglima pasukan Kesultanan Aceh di sana. Dari perbincangan hamba dengan Menteri Luar kawasan, Rangkayo Datuk Malintang Bumi, bahwa saat ini pasukan Kesultanan Aceh cukup bijaksana dalam menghadapi Kerajaan kita. Kerajaan Kesultanan Aceh sangat menghormati kita. Jadi tidak ada salahnya jika ada utusan kerajaan berkunjung ke Pariaman sambil membawa beberapa perbekalan untuk pasukan mereka, sebagai tanda kita bersahabat baik. Jika Sultan berkenan kita bawa rendang lokan yang terkenal enaknya, sebagai oleh oleh dari kita”, kata Menteri Dalam Negeri mengakiri.
Seiring berakhirnya usulan Menteri Dalam Negeri, suasana ruangan agak brisik dengan banyaknya yang menanggapi secara diam diam. Saling berbisik. Ada yang setuju, dan ada yang tidak setuju. Sultan diam saja. Ada yang rusuh dan cemas di antara peserta sidang. Rusuh dan cemas karena takut akan dipermainkan dan dipandang sebelah mata oleh Kesultanan Aceh. Atau dihina oleh bala tentara kerajaan Aceh, karena dianggap lemah. Apalagi Rangkayo Raja Prang sebagai Menteri Keamanan dan Panglima Divisi Panamban sangat menentang usulan ini. Namun banyak juga yang setuju, karena dianggap lebih bijaksana tanpa menimbulkan kurban dan kerugian bagi kerajaan.
“Hamba Sultan. Hamba tidak setuju dan menolak usul Menteri Dalam Negeri, Sultan,” pungkas Rangkayo Raja Prang dengan suara agak meninggi, seperti kebiasaan kelompok tentara yang bicara tidak banyak tapi jelas dan tegas.
“Hamba Sultan. Hamba dapat memahami saran dan usulan dari Menteri Dalam Negeri tadi. Hamba pikir, alangkah bijaksananya kita semua dalam melihat dan mempertimbangkan semua aspek, demi kebaikan yang lebih besar bagi kerajaan dan rakyat Kerajaan Inderapura, ” jelas Menteri seberang lautan, Ragkayo Malintang Bumi dengan datar.
“Menurut hamba, disamping kita membawa beberapa tambahan bekal buat pasukan Kesultanan Aceh, juga mengundang mereka kemari untuk beberapa buah kapal saja, dengan jumlah pasukan yang terbatas. Mudah mudahan dengan cara dan sikap kita yang bersahabat, Kesultanan Aceh tidak akan menggerakkan kapal dan bala tentaranya ke Muara Padang. Lagi pula Sultan kan pernah lama di Aceh. Tentu kesultanan Aceh banyak juga mengenal kepemimpinan Sultan. Dalam kunjungan hamba tahun lalu ke Kesultanan Aceh, bahkan hamba dengar beberapa pangeran di kesultanan Aceh kenal baik dengan Sultan”, tambah Rangkayo Malintang Bumi mendukung pendapat usulan Menteri Dalam Negeri.
Sultan mengangguk-ngangguk. Mengingat-ngingat masa lalunya yang cukup lama sekolah di Kesultanan Aceh. Membayangkan kebesaran istana kesultanan Aceh. Menyaksikan besarnya bala tentara pasukan Kesultanan Aceh, dengan kapal-kapalnya yang banyak. Mendengar berita di kedai-kedai kopi tentang rencong rencong dalam istana kesultanan Aceh yang sering berdarah-darah akibat intrik sesama pangeran. Para Pangeran di kesultanan Aceh seringkali adu kepentingan di antara mereka, sehingga sering berkelahi sesama saudara sendiri. Dan sebagai Raja Inderapura yang juga mempunyai banyak pangeran, Sultan bersyukur hal ini belum pernah terjadi dalam Kesultanan Kerajaan Inderapura.
Kembali pikiran Sultan menukik pada persoalan yang berat ini. Siapa Panglima Habibulah ini, yang sekarang memimpin bala tentara Aceh ke Pariaman dan Tiku. Sultan belum pernah mendengar nama Habibulah, baik waktu Sultan di Aceh maupun setelah dia meninggalkan Aceh. Menurut informasi yang dia dengar dari telek sandi, Panglima Habibulah adalah tentara yang pendiam, kaku, loyal kepada Raja, santun tapi sangat tegas, dan patriot sekali terhadap kerajaan.
“Kita harus hati hati dan tetap waspada dengan usulan Menteri dalam Negeri dan Menteri Seberang Lautan tadi. Hamba kuatir jika undangan ini justru akan menjadi pertanda bagi Kesultanan Aceh, bahwa ini akan melegalkan kerajaan kita menjadi bawahan Kesultanan Aceh” sela Menteri keamanan dengan mimik sangat serius dan raut wajahnya tegang. Bersambung .......