Ubi kayu Melimpah, Mutu Kalah Saing Dengan Daerah Lain

25 Nov 2015 606 x Dibaca

Kenagarian Batu Hampar Selatan Kecamatan Koto XI Tarusan adalah kenagarian hasil pemekaran  Batu Hampar yang memiliki potensi yang sangat besar dalam bidang pertanian. Dari luas daerahnya sekitar 700 hektar hampir setengah dari luasnya adalah lahan pertanian dan perkebunan.

Potensi pertanian seperti ubi kayu dan tanaman rambutan menjadi andalan daerah ini.karena potensi itulah rata rata mata pencarian warga daerah ini adalah sebagai petani .Hasil yang melimpah membuat sebagian wanita nagari ini mengolahnya menjadi produk rumahan yang bernilai jual.

Seperti potensi Ubi kayu  merupakan tanaman pangan yang sangat potensial dikarenakan produktivitasnya yang tinggi dan kemudahan dalam perawatan dan penanamannya. Hampir semua wilayah di nagari ini dapat ditanami oleh ubi kayu. Tinggal menacapkan stek nya saja, ubi kayu dapat tumbuh subur . Masyarakat daerah ini menjualnya dalam bentuk segar juga mengolahnya untuk menjadi produk olahan seperti kerupuk sanjai dan Opak, Tapai, Keripik hingga makanan ringan lainnya yang dipasarkan langsung ke pasar kecamatan hingga kabupaten dan luar daerah seperti Padang dan Bengkulu.

Walinagari Batu Hampar Selatan Andi Hasan  mengungkapkan Kenagarian Batu Hampar Selatan memisahkan diri dari kenagarian induknya Kenagarian Batu Hampar pada tahun 2011 yang memiliki 2 kampung yaitu Kampung Sawah Koto (Sako) dan Kampung Labuh. Dengan jumlah penduduknya sekitar 2300 jiwa atau sebesar 600 Kepala Keluarga.

"Potensi yang dimiliki daerah ini adalah pertanian, dimana luas lahan pertaniannya hampir lebih dari setengah luas wilayah ini, karena potensi itulah maka masyarakat daerah ini mengolahnya menjadi produk rumahanseperti pembuatan kerupuk sanjai dan kerupuk opak," ujarnya

Namun dalam pengelolahannya masyarakat masih mengunakan cara tradisional dan masih bergantung pada kondisi cuaca untuk proses pengeringannya. Karena itulah kualitasnya masih kalah saing dengan hasil olahan daerah lain seperti olahan Payakumbuh,Bukittinggi.

Dijelaskannya, proses pengelolaan oleh masyarakatnya dimulai dengan pencabutan buah ubi dan dikupas juga masih cara tradisional, setelah itu direbus dan digiling atau di cetak secara manual. Apabila dalam proses pengeringannya mendapatkan panas matahari yang maksimal maka kualitasnya bisa bagus namun jika sudah tidak mendapatkan panas matahari maka hasil olahan akan sedikit kuning sehingga harga di pasaran juga akan ikut berpengaruh juga.

Padahal menurut Andi ubi kayu sebagai bahan baku industri, pangan, dan energi harus didukung oleh adanya peningkatan dan kontinuitas produksi. Hal tersebut dapat dilakukan dengan penanaman ubi kayu di lahan yang sesuai, penggunaan varietas (bahan tanam) yang tepat (jumlah, kontinyu, dan tepat waktu). Varietas dan bahan tanam (bibit) merupakan salah satu faktor yang harus diperhatikan dalam usaha pengembangan ubi kayu. Dari segi varietas, ubi kayu yang dikembangkan harus mempunyai produktivitas dan kualitas yang tinggi agar permintaan yang ada dapat terpenuhi.

Maka kualitas ubi baik dan diolah secara modern mungkin hasil olahan masyarakat daerah ini tentu akan tidak kalah mutu dan kualitasnya dengan daerah lain. Seperti yang dilakukan oleh daerah lain mengunakan mesin modrn dalam mengolahnya sehingga hasil dan harganya bisa bersaing.

"Sebelumnya pemerintah nagari telah mencoba mengusulkan ke dinas terkait untuk bisa memberikan bantuan kepada usaha rumahan masyarakat , baik itu dalam peningkatan kualitas ubi juga dalam pengelolaannya, bahkan  dalam RPJM nagari dimasukan program peningkatan mutu dan kualitas usaha warga itu bukti kalau nagari serius," ujarnya

Nanti jika kualitas sudah bisa disandingkan dengan daerah lain karena pengelolaan yang baik tentunya masyarakat daerah ini akan memiliki penghasilan yang tinggi dan tingkat kesejateraan masyarakatnya juga meningkat.Selain kualitas yang memang rendah pemasaran juga menjadi kendala ,jika hasil melimpah maka harga di pasaran juga ikut melemah sehingga keuntungan yang didapat juga semakin menipis.

Seperti diutarakannya Martini 45 salah seorang warga pembuat kerupuk sanjai di Kampung Sako Batu Hampar Selatan setiap hari dia harus membeli ubi kayu sebagai bahan pembuatannya kerupuk sanjai Rp 80 ribu hingga Rp 100 Ribu tergantung jenis dan besarnya ubi. Dan setelah di olah menjadi kerupuk sanjai maka hasil yang akan didapatkannya hanya 10 kg hingga 15 Kg yang dijual mereka perkgnya sebesar Rp 9 Ribu. Sehingga penghasilan yang didapatkan  mereka hanya berkisar Rp 35 Ribu hingga Rp 50 Ribu.

Penulis: Elfi Mahyuni, S.H
Berikan Reaksi Anda:

Komentar

Belum ada komentar.

Share :

Kategori

Please enter your name.
Please enter a valid email.
Please write a comment.