Media massa memiliki peran besar dalam membentuk cara pandang masyarakat terhadap berbagai isu sosial, termasuk bagaimana perempuan direpresentasikan. Dalam sejarahnya, perempuan sering kali digambarkan melalui lensa patriarki yang menempatkan mereka sebagai objek, pelengkap, atau simbol moral tertentu. Representasi semacam ini tidak hanya membatasi peran perempuan di ruang publik, tetapi juga mempengaruhi cara perempuan memandang dirinya sendiri. Namun, seiring dengan perkembangan kesadaran gender dan meningkatnya peran perempuan dalam berbagai bidang, media kini menghadapi tuntutan baru untuk menampilkan perempuan secara lebih berimbang, manusiawi, dan memberdayakan.
Salah satu masalah utama dalam representasi perempuan di media adalah keberlanjutan stereotip gender yang telah mengakar kuat. Dalam iklan, misalnya, perempuan sering digambarkan sebagai sosok yang lembut, emosional, dan berfokus pada urusan domestik seperti mengurus anak, memasak, atau menjaga penampilan. Sementara itu, laki-laki lebih sering ditampilkan sebagai pengambil keputusan, pemimpin, atau sosok yang rasional. Pola ini tidak hanya muncul di iklan, tetapi juga dalam film, sinetron, berita, dan bahkan tayangan hiburan. Stereotip tersebut memperkuat pandangan bahwa perempuan seharusnya berada di belakang layar kehidupan publik, padahal banyak perempuan di dunia nyata yang sukses menjadi pemimpin, profesional, dan inovator di berbagai bidang.
Media juga kerap menggunakan tubuh perempuan sebagai alat untuk menarik perhatian penonton atau pembaca. Fenomena ini dikenal sebagai objectification atau objektifikasi, di mana nilai perempuan direduksi hanya pada aspek fisiknya. Dalam tayangan televisi, film, atau majalah, tubuh perempuan sering dieksploitasi untuk kepentingan komersial tanpa memperhatikan nilai intelektual dan kontribusi sosialnya. Akibatnya, citra perempuan di mata publik sering kali dikaitkan dengan standar kecantikan yang sempit dan tidak realistis, seperti kulit putih, tubuh langsing, dan wajah simetris. Standar ini tidak hanya menekan perempuan untuk selalu “sempurna”, tetapi juga menciptakan rasa rendah diri bagi mereka yang tidak sesuai dengan idealisasi media.
Dalam konteks pemberitaan, perempuan juga sering kali dihadirkan secara bias. Media berita terkadang memperlakukan perempuan sebagai subjek sekunder dalam isu-isu sosial dan politik. Misalnya, ketika ada perempuan yang sukses di dunia kerja, liputan media sering kali menyoroti aspek personal seperti penampilan, status pernikahan, atau cara ia menyeimbangkan karier dan rumah tangga, bukan pada prestasinya. Sebaliknya, ketika perempuan menjadi korban kekerasan, berita kadang terjebak dalam narasi yang menyalahkan korban (victim blaming), dengan mempertanyakan pakaian, perilaku, atau gaya hidup korban. Pola ini memperlihatkan bahwa media masih belum sepenuhnya netral dan adil dalam menampilkan isu-isu yang menyangkut perempuan.
Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa dalam dua dekade terakhir, telah terjadi pergeseran positif dalam representasi perempuan di media. Munculnya jurnalis, sutradara, penulis, dan produser perempuan memberikan ruang baru bagi perspektif yang lebih adil dan beragam. Film dan serial televisi mulai menghadirkan karakter perempuan yang kuat, cerdas, dan independen tanpa kehilangan sisi kemanusiaannya. Tokoh seperti Wonder Woman, Katniss Everdeen, atau bahkan karakter perempuan dalam film lokal seperti Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak, menunjukkan bahwa perempuan dapat menjadi pusat narasi tanpa harus bergantung pada karakter laki-laki.
Selain itu, media sosial juga membuka peluang besar bagi perempuan untuk mengontrol narasi tentang diri mereka sendiri. Melalui platform seperti Instagram, YouTube, atau TikTok, perempuan dapat berbicara langsung kepada publik tanpa harus melalui filter institusi media tradisional. Banyak perempuan menggunakan media digital untuk menyuarakan pengalaman pribadi, memperjuangkan kesetaraan gender, hingga membangun bisnis dan komunitas pemberdayaan. Fenomena ini menandai pergeseran dari posisi perempuan sebagai objek media menjadi subjek yang aktif membentuk wacana publik.
Meski demikian, pemberdayaan melalui media digital juga membawa tantangan tersendiri. Di balik kebebasan berekspresi, perempuan sering menjadi sasaran kekerasan berbasis gender di dunia maya. Serangan berupa ujaran kebencian, pelecehan seksual digital, dan body shaming menjadi ancaman nyata bagi mereka yang berani bersuara. Ironisnya, media sosial yang seharusnya menjadi ruang pembebasan justru bisa berubah menjadi arena baru patriarki digital. Oleh karena itu, pemberdayaan perempuan di media harus diiringi dengan literasi digital yang kuat dan kebijakan perlindungan yang tegas terhadap kekerasan daring.
Media memiliki tanggung jawab moral dan sosial untuk tidak hanya menampilkan perempuan secara adil, tetapi juga aktif berkontribusi dalam mengubah struktur berpikir masyarakat. Representasi yang setara tidak berarti menggantikan dominasi laki-laki dengan perempuan, melainkan menciptakan ruang yang setara bagi semua gender untuk diakui atas kemampuan dan kontribusinya. Jurnalis dan kreator konten perlu memiliki perspektif gender dalam setiap tahap produksi—mulai dari pemilihan narasumber, sudut pandang berita, hingga cara penyajian visual. Dengan begitu, media dapat menjadi sarana edukasi publik tentang pentingnya kesetaraan dan penghargaan terhadap keberagaman.
Perubahan representasi perempuan di media juga harus dimulai dari dalam institusi media itu sendiri. Masih banyak ruang redaksi atau rumah produksi yang didominasi laki-laki, sehingga sudut pandang perempuan sering kali terpinggirkan. Memberi kesempatan lebih besar bagi perempuan untuk menduduki posisi pengambil keputusan di dunia media akan berdampak langsung pada keberagaman narasi yang disajikan. Perempuan yang berada di posisi strategis dapat memastikan bahwa cerita-cerita tentang perempuan tidak lagi disusun berdasarkan pandangan eksternal yang bias, melainkan dari pengalaman autentik perempuan sendiri.
Dalam masyarakat yang terus berkembang menuju kesetaraan, representasi perempuan di media harus mencerminkan realitas yang kompleks dan dinamis. Perempuan bukan hanya istri, ibu, atau simbol kecantikan, tetapi juga pemimpin, pemikir, dan agen perubahan sosial. Media yang adil adalah media yang berani menampilkan perempuan sebagai individu dengan kekuatan, kelemahan, dan identitas yang utuh. Pemberdayaan perempuan melalui media bukan hanya tentang memberi ruang, tetapi juga tentang mendengarkan, menghargai, dan membangun narasi yang menginspirasi.
Pada akhirnya, perjuangan untuk menghadirkan representasi perempuan yang adil di media adalah bagian dari perjuangan yang lebih besar untuk membangun masyarakat yang setara dan inklusif. Ketika media berhenti mereproduksi stereotip dan mulai menampilkan perempuan dengan segala kompleksitasnya, maka masyarakat pun akan belajar untuk melihat perempuan bukan sebagai simbol atau objek, tetapi sebagai manusia seutuhnya. Di titik inilah media benar-benar dapat menjadi alat pemberdayaan, bukan sekadar cermin dari ketimpangan yang masih ada.