Pers dan Hak Cipta di Era Digital

02 Nov 2025 27 x Dibaca
Pers dan Hak Cipta di Era Digital

Perkembangan teknologi digital membawa perubahan besar dalam dunia jurnalistik dan media massa. Pers kini tidak lagi hanya bergantung pada media cetak, melainkan telah bertransformasi ke berbagai platform digital seperti portal berita online, media sosial, dan kanal video. Transformasi ini memberikan peluang besar bagi jurnalis dan perusahaan media untuk menjangkau audiens yang lebih luas dengan kecepatan distribusi informasi yang jauh lebih tinggi. Namun, di balik kemudahan dan kebebasan itu, muncul pula tantangan baru, salah satunya adalah persoalan hak cipta yang semakin kompleks di era digital. Hak cipta dalam konteks pers bukan hanya soal kepemilikan karya tulis, foto, atau video, tetapi juga berkaitan dengan integritas informasi dan penghargaan terhadap hasil kerja jurnalistik.

Hak cipta adalah bentuk perlindungan hukum terhadap karya cipta seseorang agar tidak digunakan, disalin, atau disebarluaskan tanpa izin dari pemilik aslinya. Dalam dunia jurnalistik, karya seperti berita, artikel opini, foto jurnalistik, infografis, hingga video dokumenter termasuk dalam kategori karya cipta yang dilindungi oleh undang-undang. Di Indonesia, perlindungan ini diatur melalui Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Undang-undang tersebut memberikan perlindungan kepada pencipta dan pemegang hak cipta atas setiap karya yang orisinal dan memiliki nilai ekonomi. Sayangnya, di era digital yang serba cepat dan terbuka, pelanggaran hak cipta dalam karya jurnalistik semakin sering terjadi, baik secara sengaja maupun tidak.

Banyak media daring yang dengan mudah menyalin atau memodifikasi berita dari media lain tanpa mencantumkan sumber atau izin dari pihak terkait. Praktik “copy-paste journalism” ini menjadi fenomena yang mengkhawatirkan karena tidak hanya merugikan secara moral dan ekonomi bagi media yang orisinal, tetapi juga menurunkan kualitas etika jurnalistik secara keseluruhan. Dalam banyak kasus, pelanggaran hak cipta di media digital sering dibenarkan dengan alasan bahwa informasi bersifat publik dan bebas disebarluaskan. Padahal, meskipun berita mengandung informasi publik, penyusunan, penulisan, dan pengemasan berita tersebut tetap merupakan hasil karya intelektual yang dilindungi hukum.

Pers memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan antara kebebasan informasi dan penghormatan terhadap hak cipta. Di satu sisi, pers berfungsi sebagai saluran utama untuk menyampaikan informasi publik yang dibutuhkan masyarakat. Namun di sisi lain, pers juga dituntut untuk menghormati hak kekayaan intelektual milik orang lain, baik sesama jurnalis, fotografer, maupun pihak ketiga yang menjadi sumber materi pemberitaan. Misalnya, ketika menggunakan foto dari media sosial, jurnalis tetap harus meminta izin atau setidaknya mencantumkan kredit kepada pemiliknya. Prinsip etika ini menjadi pondasi penting agar kepercayaan publik terhadap media tetap terjaga.

Kemunculan teknologi digital juga menghadirkan dilema baru antara hak cipta dan kebebasan berbagi informasi. Di satu sisi, masyarakat semakin mudah mengakses dan menyebarkan berita dari berbagai sumber melalui media sosial. Namun di sisi lain, kemudahan ini sering kali disalahgunakan untuk menyebarluaskan karya jurnalistik tanpa izin atau bahkan mengubah konteks isi berita. Fenomena ini diperparah dengan hadirnya teknologi kecerdasan buatan (AI) yang dapat menghasilkan tulisan, gambar, atau video mirip karya manusia hanya dalam hitungan detik. Teknologi ini menimbulkan perdebatan baru: siapa yang berhak atas hak cipta karya yang dihasilkan oleh AI? Dalam konteks media, pertanyaan ini semakin relevan karena banyak redaksi kini memanfaatkan AI untuk membantu pembuatan berita, penyuntingan, atau distribusi konten.

Dalam menghadapi situasi ini, lembaga pers harus memperkuat kebijakan internal dan kesadaran etika di kalangan jurnalisnya. Salah satu langkah penting adalah dengan menerapkan pelatihan tentang literasi hak cipta dan etika penggunaan konten digital. Jurnalis perlu memahami batas antara penggunaan wajar (fair use) dan pelanggaran hak cipta. Misalnya, kutipan pendek dari media lain masih diperbolehkan sepanjang untuk tujuan pelaporan dan dengan menyebutkan sumber yang jelas. Namun, mengambil keseluruhan berita atau foto tanpa izin jelas merupakan pelanggaran. Dengan pemahaman yang baik, jurnalis dapat tetap menjalankan tugasnya sebagai penyampai informasi tanpa harus melanggar hak cipta pihak lain.

Di sisi lain, perusahaan media juga perlu memanfaatkan teknologi untuk melindungi karya jurnalistiknya. Beberapa media besar kini menggunakan teknologi digital watermark atau sistem pelacakan otomatis untuk mendeteksi jika karya mereka digunakan tanpa izin di situs lain. Langkah ini terbukti cukup efektif dalam mengurangi praktik penjiplakan berita. Selain itu, kerja sama antarmedia juga penting dalam membangun ekosistem jurnalisme yang sehat. Dengan adanya kesepakatan bersama tentang etika distribusi berita digital, media dapat saling menghargai dan menghindari praktik yang merugikan.

Pemerintah dan lembaga hukum pun memegang peranan penting dalam menegakkan perlindungan hak cipta di dunia pers digital. Penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran hak cipta akan memberikan efek jera bagi pelaku serta mendorong terciptanya industri media yang lebih profesional. Namun demikian, penegakan hukum harus tetap mempertimbangkan kebebasan pers sebagai salah satu pilar demokrasi. Jangan sampai perlindungan hak cipta dijadikan alasan untuk membatasi kebebasan jurnalis dalam meliput dan menyampaikan kebenaran. Oleh karena itu, keseimbangan antara perlindungan hukum dan kebebasan pers harus dijaga dengan cermat.

Selain penegakan hukum, peran masyarakat juga tidak kalah penting. Pembaca yang cerdas dan kritis dapat membantu mengurangi pelanggaran hak cipta dengan tidak mendukung media yang sering melakukan penjiplakan. Masyarakat dapat memilih untuk mengakses berita dari sumber resmi dan kredibel, serta tidak membagikan konten yang mencurigakan atau tidak mencantumkan sumber. Dengan cara ini, publik berperan aktif dalam membangun budaya penghargaan terhadap karya jurnalistik yang orisinal dan bermutu.

Ke depan, hubungan antara pers dan hak cipta akan semakin kompleks seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi digital. Namun demikian, prinsip dasar yang harus dipegang tetap sama: menghormati karya orang lain dan menjunjung tinggi etika dalam berkarya. Pers tidak hanya bertanggung jawab untuk menyampaikan informasi kepada publik, tetapi juga menjadi teladan dalam menghargai hak cipta dan integritas karya intelektual. Dalam ekosistem media digital yang semakin terbuka, kolaborasi antara jurnalis, perusahaan media, pemerintah, dan masyarakat menjadi kunci utama untuk menciptakan ruang informasi yang adil, aman, dan beretika.

Dengan demikian, tantangan hak cipta di era digital bukanlah penghalang bagi kemajuan pers, melainkan peluang untuk memperkuat profesionalisme dan kredibilitas media. Pers yang menghormati hak cipta akan mampu membangun kepercayaan publik, menjaga keberlanjutan industri media, serta memastikan bahwa karya jurnalistik tetap dihargai sebagai hasil dari kerja keras, intelektualitas, dan tanggung jawab sosial yang tinggi. Dalam dunia yang penuh dengan arus informasi cepat, menghormati hak cipta berarti juga menjaga martabat pers sebagai pilar penting dalam kehidupan demokrasi

Penulis: Jordi L Maulana, S.STP
Berikan Reaksi Anda:

Komentar

Belum ada komentar.

Share :

Kategori

Please enter your name.
Please enter a valid email.
Please write a comment.