Kabupaten Pesisir Selatan memiliki garis pantai yang panjang dan berhadapan langsung dengan Kepulauan Mentawai. Kondisi geografis ini menjadikan wilayah tersebut memiliki potensi tinggi terhadap bencana gempa dan tsunami. Karena itu, kesiapsiagaan menjadi langkah penting yang terus diperkuat oleh pemerintah daerah bersama masyarakat, terutama dalam memperingati Hari Kesiapsiagaan Tsunami Dunia yang jatuh setiap 5 November.
Tahun ini, peringatan Hari Kesiapsiagaan Tsunami Dunia (World Tsunami Awareness Day) mengusung tema “Be Tsunami Ready: Invest in Tsunami Preparedness.” Tema ini mengingatkan bahwa kesiapsiagaan bukan sekadar peringatan tahunan, tetapi bentuk investasi jangka panjang dalam keselamatan manusia. Investasi itu tidak selalu berupa dana besar, melainkan berupa pengetahuan, pelatihan, komunikasi publik, dan kemitraan lintas sektor. Di Pesisir Selatan, semangat ini menemukan relevansinya karena sebagian besar wilayah nagari berada di pesisir yang rawan gempa dan tsunami.
Penjabat Kepala Pelaksana BPBD Pessel, Mulyandri, ST, MM, Datuak Rajo Intan, menyebut bahwa kesiapsiagaan menjadi prioritas utama.
“Pesisir Selatan merupakan daerah yang berada di jalur megathrust Mentawai yang secara geologi menyimpan potensi gempa besar. Karena itu, kesiapsiagaan masyarakat menjadi prioritas utama kami,” ujarnya.
Kabupaten Pesisir Selatan merupakan salah satu daerah dengan tingkat kerawanan tinggi di Sumatera Barat. Wilayah ini berada pada jalur megathrust Mentawai–Selat Sunda yang dikenal aktif secara seismik. Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) mencatat, sebanyak 72 nagari masuk dalam kategori zona merah tsunami, dengan sekitar 270 ribu jiwa tinggal di wilayah rawan tersebut. Dari total 182 nagari, setidaknya 62 nagari berada langsung di garis pantai. Angka-angka ini menjadi pengingat bahwa kesiapsiagaan bukan pilihan, melainkan kebutuhan yang mendesak.
Menanggapi kondisi tersebut, Pemerintah Kabupaten Pesisir Selatan melalui BPBD terus memperkuat sistem mitigasi bencana. Sejak 2023 hingga 2025, telah terpasang 398 unit rambu jalur evakuasi tsunami di berbagai nagari, termasuk 15 nagari prioritas yang memiliki tingkat risiko tinggi. Selain itu, sudah tersedia 18 titik evakuasi sementara (TES) yang dapat digunakan masyarakat ketika terjadi guncangan besar. Walaupun jumlahnya belum memenuhi kebutuhan ideal di seluruh nagari pesisir, langkah ini menjadi wujud nyata perhatian pemerintah terhadap keselamatan warga.
Namun kesiapsiagaan tidak hanya berhenti pada pembangunan infrastruktur. Kesadaran masyarakat menjadi kunci utama dalam menghadapi bencana. Di sejumlah nagari seperti Amping Parak, Pasar Baru, dan Kambang, warga bersama pemerintah nagari mulai membentuk Kelompok Siaga Bencana (KSB), mengatur jalur evakuasi, dan menandai lokasi aman di perbukitan sebagai Titik Evakuasi Akhir (TEA). Gerakan berbasis komunitas ini menunjukkan bahwa keselamatan adalah hasil kerja kolektif, bukan semata tanggung jawab pemerintah.
Puncak momentum kewaspadaan itu terasa pada Simulasi Gempa dan Tsunami yang digelar di Shelter Rawang Painan, Kecamatan IV Jurai, Rabu (5/11). Kegiatan yang bertepatan dengan peringatan Hari Kesiapsiagaan Tsunami Dunia ini dibuka langsung oleh Bupati Pesisir Selatan, Hendrajoni, dihadiri Forkopimda, perangkat daerah, unsur TNI, Polri, Dinas Kesehatan, RSUD, Kesbangpol, kecamatan, nagari, hingga kelompok siaga bencana.
Dalam sambutannya, Bupati Hendrajoni menegaskan pentingnya sinergi lintas sektor.
“Kegiatan simulasi ini sangat penting untuk membangun sinergi dan komitmen yang kuat dalam penanganan bencana gempa dan tsunami. Pesisir Selatan adalah daerah rawan, sehingga kewaspadaan dan kepedulian semua pihak harus terus ditingkatkan,” ujarnya.
Lebih dari sekadar latihan, simulasi ini menjadi ruang belajar bersama bagaimana bertindak cepat, menolong sesama, dan menjaga ketenangan di tengah kepanikan. Setiap langkah evakuasi, setiap sirine yang berbunyi, adalah bentuk penguatan ingatan kolektif bahwa keselamatan dimulai dari kesiapan.
Pesisir Selatan tak sekadar menyiapkan infrastruktur, tetapi juga berupaya menanamkan kesadaran bahwa kesiapsiagaan adalah bagian dari budaya hidup masyarakat pesisir. Di sinilah nilai gotong royong dan kepedulian sosial diuji. Masyarakat yang tangguh bukan berarti bebas dari bencana, tetapi mampu bangkit dan saling menjaga di tengah ancaman.
Meski berbagai langkah telah dilakukan, tantangan masih terbentang. Infrastruktur evakuasi permanen di beberapa nagari belum merata, dan literasi kebencanaan di sebagian masyarakat masih perlu ditingkatkan. Sementara itu, pendanaan mitigasi masih bergantung pada kombinasi sumber seperti APBD, Dana Desa, dukungan NGO, dan pemerintah pusat. Namun, di balik tantangan itu, komitmen pemerintah daerah untuk terus menanamkan budaya siaga bencana tidak surut.
Peringatan 5 November bukan sekadar seremoni global, tetapi refleksi bahwa kesiapsiagaan adalah bagian dari cara kita mencintai kehidupan. Ketika pemerintah daerah, lembaga pendidikan, relawan, dan masyarakat nagari bergerak bersama, maka jalinan upaya keselamatan di negeri ombak ini akan semakin kokoh. Dari pengetahuan lahir kesadaran, dari kesadaran tumbuh tindakan, dan dari tindakan terbentuk ketangguhan.
Mulyandri menegaskan, kesadaran masyarakat merupakan kunci utama dalam menghadapi ancaman bencana.
“Kita tidak bisa menghindari bencana, tetapi kita bisa meminimalkan dampaknya dengan kesiapsiagaan yang baik,” katanya.
Melalui berbagai upaya yang telah dilakukan mulai dari edukasi, pelatihan, hingga penguatan jalur evakuasi ia berharap masyarakat Pesisir Selatan semakin tangguh dan siap menghadapi berbagai bencana yang mungkin terjadi, terutama gempa yang berpotensi tsunami. Karena di negeri ombak ini, kesiapsiagaan bukan hanya tanggung jawab pemerintah, melainkan warisan kebersamaan yang harus dijaga bersama.