Bulan Oktober selalu menjadi bulan yang sarat makna dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Di bulan inilah, rakyat Indonesia memperingati Hari Sumpah Pemuda dan mengenang berbagai momentum perjuangan kemerdekaan. Namun, di antara kisah besar itu, terselip pula satu babak bersejarah yang jarang terangkat. pemulangan para tahanan perang Indonesia dari Australia pada Oktober 1945, hanya dua bulan setelah proklamasi kemerdekaan.
Salah satu nama yang tercatat dalam peristiwa itu adalah Haji Ilyas Ya’kub, seorang tokoh pergerakan nasional yang berasal dari Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Ia adalah pejuang tangguh, wartawan, dan orator ulung yang tak hanya berjuang lewat senjata, tetapi juga melalui pena dan gagasan.
Perjalanan pulang Ilyas Ya’kub ke tanah air setelah masa penahanan di Australia bukanlah akhir dari penderitaan. Ketika kapal Experence Bey yang mengangkut para tahanan perang berlabuh di Pelabuhan Tanjung Priok pada Oktober 1945, ia tidak diizinkan turun dari kapal. Pemerintah kolonial Belanda yang saat itu masih berupaya menegakkan kembali kekuasaannya di Indonesia, menganggap Ilyas Ya’kub sebagai sosok berbahaya seorang nasionalis sejati yang dapat menyalakan kembali semangat perlawanan rakyat.
Alih-alih kembali ke tanah air yang baru merdeka, Ilyas Ya’kub kembali ditahan bersama istrinya. Selama sembilan bulan berikutnya, keduanya diasingkan ke berbagai tempat: Kupang, Serawak, Brunei Darussalam, Labuan, dan Singapura. Dalam masa pengasingan itu, cobaan berat menimpa mereka: anaknya, Iqbal, meninggal dunia di perantauan, sebuah luka mendalam bagi keluarga pejuang itu.
Baru pada tahun 1946, setahun setelah Proklamasi Kemerdekaan, masa tahanan Haji Ilyas Ya’kub berakhir. Ia akhirnya kembali ke tanah air dan bergabung dengan kaum republik di Cirebon, melanjutkan perjuangan untuk menegakkan kedaulatan bangsa. Meski fisik dan batin telah banyak terkuras, semangat juangnya tidak pernah padam.
Kiprahnya setelah itu menunjukkan watak sejati seorang pejuang yang tidak pernah berhenti bekerja untuk kepentingan bangsa. Ilyas Ya’kub tidak hanya dikenal sebagai aktivis politik, tetapi juga sebagai jurnalis yang tajam dalam menyuarakan aspirasi rakyat dan menolak segala bentuk penindasan.
Sebagai putra daerah Pesisir Selatan, Sumatera Barat, Ilyas Ya’kub tumbuh dalam kultur masyarakat pesisir yang keras, religius, dan cinta kebebasan. Karakter itu terbentuk dalam dirinya sejak muda dan terbawa dalam setiap langkah perjuangannya. Ia dikenal gigih, tegas, dan memiliki integritas tinggi dalam memperjuangkan keadilan.
Kisahnya menjadi cermin dari perjuangan banyak tokoh daerah yang berjuang tanpa pamrih, sering kali terlupakan oleh sejarah arus utama. Namun, dedikasi Ilyas Ya’kub akhirnya diakui secara nasional ia dianugerahi gelar Pahlawan Nasional Indonesia, menegaskan bahwa perjuangan dari pesisir pun memberi gema bagi kemerdekaan seluruh Nusantara.
Mengenang Ilyas Ya’kub berarti juga mengingat nilai-nilai yang ia perjuangkan: keberanian, kejujuran, dan kesetiaan pada cita-cita kemerdekaan. Dalam konteks hari ini, warisan itu bukan sekadar catatan sejarah, tetapi inspirasi moral bagi generasi muda untuk tetap memperjuangkan keadilan dan kebenaran, meski dalam bentuk perjuangan yang berbeda.
Sejarah memang sering berputar di sekitar nama-nama besar di pusat kekuasaan. Namun, dari pantai selatan Sumatera Barat, Ilyas Ya’kub menunjukkan bahwa gelombang perjuangan nasional juga lahir dari tepian, dari mereka yang menolak diam di bawah penjajahan, dan yang tetap setia pada Indonesia meski diasingkan jauh dari tanah kelahirannya.
Setiap kali Oktober tiba, bangsa ini merayakan semangat kepemudaan dan kemerdekaan. Di sela-sela itu, layak kiranya kita mengenang Haji Ilyas Ya’kub, pahlawan yang pernah menatap laut dari dek kapal Experence Bey, rindu tanah air namun tetap teguh pada keyakinan bahwa Indonesia merdeka bukan sekadar mimpi, melainkan harga diri yang harus diperjuangkan sampai akhir hayat.