Media Online dan Pergeseran Pola Konsumsi Informasi Masyarakat

02 Nov 2025 13 x Dibaca
Media Online dan Pergeseran Pola Konsumsi Informasi Masyarakat

Dalam dua dekade terakhir, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah mengubah secara drastis cara masyarakat memperoleh, mengonsumsi, dan menyebarkan informasi. Jika pada masa lalu surat kabar, radio, dan televisi menjadi sumber utama bagi masyarakat untuk mendapatkan berita, kini media online mengambil peran dominan dalam ekosistem informasi global. Transformasi ini tidak hanya terjadi di negara-negara maju, tetapi juga di Indonesia yang mengalami lonjakan pengguna internet secara signifikan. Fenomena ini menunjukkan bahwa media online telah menjadi medium utama dalam memenuhi kebutuhan informasi masyarakat modern. Pergeseran pola konsumsi informasi ini membawa dampak besar terhadap cara berpikir, bertindak, serta membentuk opini publik di era digital.

Salah satu faktor utama yang mendorong perubahan pola konsumsi informasi adalah kemudahan akses terhadap media online. Dengan berkembangnya teknologi smartphone dan jaringan internet yang semakin meluas, masyarakat kini dapat mengakses berita kapan saja dan di mana saja. Informasi tidak lagi terbatas pada waktu tayang televisi atau edisi cetak harian surat kabar. Hanya dengan beberapa ketukan di layar gawai, seseorang dapat memperoleh kabar terkini dari berbagai sumber di seluruh dunia. Kecepatan dan fleksibilitas inilah yang membuat masyarakat beralih dari media konvensional ke media digital. Di sisi lain, banyak media tradisional pun beradaptasi dengan menghadirkan versi online agar tetap relevan dan kompetitif di tengah arus digitalisasi informasi.

Selain faktor kemudahan akses, karakteristik media online yang interaktif juga berkontribusi besar terhadap perubahan perilaku konsumsi informasi. Masyarakat kini tidak hanya menjadi penerima pasif, tetapi juga dapat berpartisipasi secara aktif dalam proses penyebaran informasi. Melalui kolom komentar, media sosial, dan fitur berbagi, pengguna dapat menanggapi berita, memberikan opini, bahkan menjadi sumber informasi itu sendiri. Hal ini menciptakan fenomena baru yang dikenal sebagai citizen journalism, di mana masyarakat umum turut serta memproduksi dan mendistribusikan informasi kepada khalayak luas. Walaupun hal ini memperkaya ragam perspektif dalam pemberitaan, di sisi lain muncul tantangan baru berupa meningkatnya potensi penyebaran berita palsu (hoaks) dan informasi yang tidak terverifikasi.

Pergeseran pola konsumsi informasi juga memengaruhi cara masyarakat memaknai kredibilitas sebuah sumber berita. Jika dulu nama besar suatu media menjadi jaminan kepercayaan publik, kini masyarakat sering kali menilai berdasarkan kecepatan dan sensasionalitas informasi. Banyak pengguna internet lebih tertarik pada judul berita yang menarik perhatian dibandingkan dengan isi atau validitasnya. Akibatnya, muncul fenomena clickbait yang digunakan oleh sebagian media online untuk menarik jumlah pembaca dan meningkatkan trafik situs mereka. Situasi ini menggeser nilai fundamental jurnalisme, di mana akurasi dan objektivitas sering kali dikorbankan demi popularitas dan keuntungan komersial.

Di sisi lain, algoritma media sosial dan mesin pencari juga memainkan peran penting dalam membentuk pola konsumsi informasi masyarakat. Platform seperti Facebook, X (Twitter), Instagram, dan TikTok kini menjadi sumber utama berita bagi banyak orang, terutama generasi muda. Namun, algoritma yang mengatur tayangan konten berdasarkan preferensi pengguna sering kali menciptakan echo chamber, yaitu ruang informasi yang hanya memperkuat pandangan atau keyakinan tertentu tanpa memberikan sudut pandang lain. Hal ini berpotensi membatasi wawasan dan memperdalam polarisasi di tengah masyarakat. Dengan kata lain, meskipun media online memperluas akses terhadap informasi, ia juga bisa menciptakan segregasi informasi yang halus namun berbahaya.

Pergeseran ini juga membawa dampak terhadap industri media itu sendiri. Model bisnis media konvensional yang bergantung pada langganan dan iklan cetak kini tergantikan oleh model berbasis digital seperti programmatic advertising, paywall, dan sponsorship content. Banyak perusahaan media tradisional terpaksa bertransformasi agar tetap bertahan di era digital. Mereka harus mampu memproduksi konten yang relevan, cepat, dan mudah dibagikan di platform digital. Di sisi lain, muncul banyak media daring independen yang mencoba menawarkan perspektif baru dan lebih segar. Namun, karena persaingan yang ketat dan tuntutan pasar yang tinggi, sebagian di antaranya terjebak dalam praktik clickbait journalism dan penyajian informasi yang dangkal.

Selain itu, kehadiran media online juga mengubah kebiasaan masyarakat dalam mengonsumsi berita. Dulu, masyarakat memiliki rutinitas membaca koran di pagi hari atau menonton berita di malam hari. Kini, kebiasaan tersebut bergeser menjadi scrolling tanpa henti di media sosial atau portal berita digital sepanjang hari. Pola konsumsi semacam ini membuat masyarakat cenderung menerima informasi dalam potongan kecil dan cepat, bukan dalam bentuk analisis mendalam. Akibatnya, muncul fenomena information overload, di mana seseorang dibanjiri informasi hingga kesulitan membedakan mana yang penting dan mana yang sekadar sensasi.

Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa media online juga memberikan banyak manfaat positif. Ia memperluas akses masyarakat terhadap informasi global, mendorong keterbukaan, serta memperkuat partisipasi publik dalam isu-isu sosial dan politik. Misalnya, berbagai gerakan sosial dan kampanye kemanusiaan kini banyak dimulai melalui platform digital. Media online memungkinkan penyebaran informasi dengan cepat dan efisien, serta memudahkan koordinasi antarindividu dan kelompok di berbagai wilayah. Dalam konteks demokrasi, media online juga berperan sebagai sarana kontrol sosial terhadap pemerintah dan lembaga publik, menggantikan sebagian fungsi media massa tradisional sebagai pilar keempat demokrasi.

Namun, manfaat tersebut hanya dapat dirasakan jika masyarakat memiliki literasi digital yang memadai. Tanpa kemampuan untuk menilai kredibilitas sumber informasi, memahami konteks berita, dan menyaring konten yang dikonsumsi, masyarakat akan mudah terjebak dalam misinformasi. Literasi digital menjadi kunci utama agar masyarakat dapat menjadi konsumen informasi yang cerdas dan kritis. Pemerintah, lembaga pendidikan, dan media sendiri memiliki tanggung jawab untuk mendorong peningkatan literasi digital ini. Program edukasi publik, pelatihan jurnalisme warga, dan penerapan regulasi yang menekan penyebaran hoaks merupakan langkah penting untuk membangun ekosistem media yang sehat dan beretika.

Pada akhirnya, pergeseran pola konsumsi informasi akibat kehadiran media online adalah keniscayaan yang tidak bisa dihindari. Dunia informasi kini bergerak cepat, dinamis, dan tanpa batas geografis. Tantangannya bukanlah menolak perubahan, melainkan bagaimana menyesuaikan diri dan memanfaatkannya secara bijak. Masyarakat perlu menyadari bahwa setiap kemudahan yang ditawarkan media digital juga membawa tanggung jawab untuk menggunakan dan menyebarkan informasi secara bertanggung jawab. Hanya dengan kesadaran kolektif dan peningkatan literasi media, pergeseran ini dapat menghasilkan masyarakat yang lebih kritis, terinformasi, dan partisipatif dalam kehidupan sosial maupun politik. Dengan demikian, media online tidak sekadar menjadi alat penyampai berita, tetapi juga sarana pembentuk peradaban informasi yang cerdas dan beretika.

Penulis: Jordi L Maulana, S.STP
Berikan Reaksi Anda:

Komentar

Belum ada komentar.

Share :

Kategori

Please enter your name.
Please enter a valid email.
Please write a comment.