Tradisi adalah napas panjang peradaban. Ia menjadi jembatan antara masa lalu dan masa kini, sekaligus cermin nilai luhur yang masih hidup di tengah masyarakat. Dari tanah Pesisir Selatan, tepatnya di Nagari Inderapura, lahirlah sebuah tradisi unik yang kini menembus pengakuan nasional: Marapulai Basuntiang. Tradisi ini bukan sekadar prosesi pernikahan, tetapi simbol tentang kehormatan, tanggung jawab, dan jati diri laki-laki Minangkabau.
Jika di banyak daerah Minangkabau suntiang hanya dikenakan oleh perempuan (anak daro) dalam upacara pernikahan, maka Inderapura memiliki kekhasan tersendiri. Dalam tradisi Marapulai Basuntiang, sang mempelai laki-laki turut mengenakan suntiang di kepalanya. Pemandangan ini tidak hanya menarik, tetapi juga sarat makna simbolik.
Menurut sejarah lisan masyarakat, tradisi ini berakar dari peristiwa di abad ke-14, ketika wilayah Inderapura masih berbentuk kerajaan. Kala itu, daerah ini menghadapi serangan dari pihak luar. Untuk menyambut kedatangan pasukan, masyarakat menggelar pertunjukan budaya yang melibatkan perempuan bersuntiang. Namun kemudian, kaum laki-laki juga mengenakan suntiang sebagai lambang keberanian dan kehormatan dalam melindungi kaumnya. Dari sinilah lahir simbol “basuntiang bagi marapulai” yang bertahan hingga kini.
Suntiang yang dipakai marapulai memiliki bentuk berbeda dari suntiang anak daro. Ukurannya lebih kecil dengan motif yang lebih besar dan kokoh, menggambarkan wibawa serta ketegasan laki-laki, sementara suntiang anak daro lebih tinggi dan lebar, melambangkan kelembutan dan keanggunan perempuan. Perpaduan keduanya dalam prosesi pernikahan menjadi metafora tentang keseimbangan peran dan nilai dalam rumah tangga adat Minangkabau.
Bagi masyarakat Inderapura, mengenakan suntiang bukan sekadar simbol pernikahan, tetapi wujud dari tanggung jawab sosial. Seorang marapulai tidak hanya menikahi seorang perempuan, tetapi juga memikul kehormatan keluarga besar istrinya. Dalam adat Minangkabau, terutama di Pesisir Selatan, seorang sumando (suami) berperan sebagai panutan, pelindung, dan penjaga marwah rumah gadang.
Tradisi ini juga menegaskan nilai budi pekerti, gotong royong, dan penghormatan terhadap tatanan adat. Prosesi Marapulai Basuntiang biasanya dilengkapi dengan iringan musik tradisional dan pakaian adat berwarna cerah, yang menggambarkan semangat kebersamaan. Nilai-nilai tersebut menjadikan tradisi ini lebih dari sekadar warisan budaya, tetapi juga pedoman hidup bagi generasi penerus.
Penetapan Marapulai Basuntiang sebagai Warisan Budaya Takbenda (WBTb) Indonesia Tahun 2025 menjadi kebanggaan tersendiri bagi masyarakat Pesisir Selatan. Pengakuan ini diumumkan dalam Sidang Penetapan WBTb Indonesia yang digelar oleh Kementerian Kebudayaan RI melalui Direktorat Jenderal Perlindungan Kebudayaan dan Tradisi pada 5–11 Oktober 2025 di Jakarta Selatan.
Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Pesisir Selatan, Syafrizal Dihendri, menjelaskan bahwa penetapan ini melewati proses panjang—meliputi kajian ilmiah, verifikasi data, dan dokumentasi visual. Ia menegaskan bahwa keberhasilan ini merupakan hasil kolaborasi antara pemerintah daerah, tokoh adat, dan masyarakat yang konsisten menjaga tradisi leluhur.
“Dalam Marapulai Basuntiang, kita melihat simbol penghormatan dan tanggung jawab sosial seorang laki-laki yang telah menikah terhadap keluarga dan masyarakatnya. Tradisi ini adalah wujud nilai-nilai luhur Minangkabau yang terus hidup di tengah modernisasi,” ujarnya.
Pengakuan nasional ini menjadi momentum penting bagi masyarakat Pesisir Selatan untuk semakin mencintai dan melestarikan budayanya. Di tengah derasnya arus globalisasi, Marapulai Basuntiang hadir sebagai pengingat bahwa kemajuan tidak boleh memutus akar identitas.
Melalui dukungan pemerintah daerah dan partisipasi masyarakat adat, tradisi ini diharapkan terus diwariskan kepada generasi muda tidak hanya sebagai seremoni, tetapi juga sebagai pelajaran hidup tentang tanggung jawab, kehormatan, dan kebersamaan.
Karena sejatinya, setiap suntiang yang dikenakan marapulai bukan hanya hiasan kepala, melainkan mahkota nilai yang menuntun langkah kehidupan: bahwa menjadi laki-laki sejati berarti menjaga, menghormati, dan mengabdi dengan sepenuh hati.