Perkembangan teknologi informasi telah mengubah cara pemerintah, lembaga, dan organisasi berkomunikasi dengan publik. Dahulu, komunikasi kehumasan sangat bergantung pada format formal seperti press release yang dikirim ke media massa untuk menyampaikan informasi resmi. Namun, di era digital saat ini, teknik komunikasi humas mengalami transformasi besar-besaran. Dari ruang redaksi media cetak kini bergeser ke ruang digital yang dinamis, seperti media sosial. Salah satu simbol paling kuat dari perubahan ini adalah pergeseran dari “press release” ke “tweet”. Pergeseran ini bukan sekadar soal bentuk komunikasi, tetapi juga menunjukkan perubahan paradigma dalam cara membangun hubungan, menyampaikan pesan, dan membentuk citra lembaga di mata publik.
Dalam konteks lama, press release merupakan senjata utama humas. Dokumen ini disusun dengan struktur yang formal, bahasa yang kaku, dan sering kali melewati proses panjang mulai dari penulisan, persetujuan, hingga publikasi oleh media massa. Press release dianggap sebagai alat yang sahih karena memiliki nilai resmi dan kredibel. Namun, kekuatannya terbatas pada satu arah: dari lembaga kepada media, lalu dari media ke publik. Sementara itu, publik tidak memiliki ruang untuk merespons secara langsung. Komunikasi berjalan lambat, bersifat top-down, dan sering kali kehilangan momentum ketika berita sudah sampai ke khalayak.
Sebaliknya, di era media sosial, komunikasi humas menjadi jauh lebih cepat, interaktif, dan adaptif. Platform seperti Twitter, Instagram, TikTok, hingga Facebook menjadi panggung baru bagi humas untuk menyampaikan informasi, mengklarifikasi isu, atau membangun citra positif secara langsung kepada publik tanpa perantara media. “Tweet” menjadi simbol komunikasi modern karena sifatnya yang singkat, padat, dan langsung ke sasaran. Dalam 280 karakter, humas ditantang untuk menyampaikan pesan yang jelas, menarik, dan relevan dengan suasana publik. Ini bukan hanya soal menulis pesan pendek, tetapi juga tentang membangun kedekatan emosional dengan masyarakat dalam bahasa yang lebih manusiawi.
Transformasi dari press release ke tweet menuntut perubahan mindset dan keterampilan humas secara fundamental. Di masa lalu, seorang pejabat humas cukup menguasai penulisan berita dan menjalin hubungan dengan jurnalis. Kini, mereka juga harus memahami algoritma media sosial, manajemen krisis digital, dan strategi komunikasi real-time. Seorang praktisi humas modern perlu memiliki kepekaan terhadap tren, memahami dinamika percakapan publik di dunia maya, serta mampu merespons isu dengan cepat tanpa kehilangan etika dan kredibilitas institusi. Dalam situasi tertentu, kecepatan merespons lebih penting daripada kesempurnaan redaksi. Satu tweet yang tepat waktu bisa menenangkan publik, sementara keterlambatan bisa memunculkan spekulasi dan krisis kepercayaan.
Namun, perubahan ini juga membawa tantangan baru. Media sosial adalah ruang terbuka yang tak selalu bisa dikendalikan. Setiap pesan yang disampaikan dapat diinterpretasikan secara berbeda oleh publik. Kesalahan kecil dalam pemilihan kata, nada bicara, atau konteks bisa menimbulkan dampak besar. Oleh karena itu, humas harus lebih berhati-hati dalam menyusun pesan, memastikan bahwa setiap tweet bukan hanya menarik perhatian, tetapi juga mencerminkan nilai dan integritas lembaga. Dalam konteks pemerintahan misalnya, akun resmi bukan sekadar alat promosi, tetapi juga cerminan akuntabilitas dan keterbukaan informasi publik. Satu tweet bisa menjadi bukti komitmen transparansi, atau sebaliknya, bisa menimbulkan kecurigaan jika disampaikan dengan cara yang tidak bijak.
Salah satu kekuatan utama media sosial dalam kehumasan modern adalah kemampuannya membangun dialog dua arah. Jika press release bersifat monolog, maka tweet dan media sosial membuka ruang percakapan. Publik dapat memberikan tanggapan, kritik, atau dukungan secara langsung. Ini menciptakan hubungan yang lebih partisipatif antara lembaga dan masyarakat. Dalam jangka panjang, interaksi semacam ini bisa memperkuat kepercayaan publik karena masyarakat merasa suaranya didengar. Namun, humas perlu cermat mengelola percakapan ini. Setiap komentar publik harus direspons dengan empati dan profesionalisme. Dalam komunikasi digital, bukan hanya isi pesan yang penting, tetapi juga cara merespons yang mencerminkan karakter lembaga.
Selain aspek kecepatan dan interaktivitas, transformasi ini juga memengaruhi gaya bahasa dan tone komunikasi. Press release dikenal dengan gaya formal dan teknokratis, sedangkan media sosial menuntut gaya yang lebih santai, ringan, dan mudah dipahami oleh berbagai lapisan masyarakat. Tantangannya adalah menjaga keseimbangan antara profesionalitas dan kedekatan. Humas harus mampu berbicara dengan bahasa rakyat tanpa kehilangan wibawa institusional. Misalnya, akun pemerintah daerah bisa menggunakan humor ringan atau bahasa lokal untuk mendekatkan diri dengan warganya, namun tetap menjaga substansi informasi agar tidak keluar dari konteks resmi. Pendekatan ini menciptakan kesan bahwa pemerintah tidak hanya berbicara kepada rakyat, tetapi juga berbicara bersama rakyat.
Selain itu, humas modern kini harus menguasai visualisasi pesan. Di era digital, teks saja tidak cukup. Pesan yang disertai gambar, infografis, atau video pendek jauh lebih efektif menarik perhatian publik. Visual menjadi bagian integral dari komunikasi karena dapat memperkuat pesan dalam waktu singkat. Misalnya, pengumuman kebijakan publik akan lebih mudah dipahami jika dikemas dalam bentuk infografis yang jelas dibandingkan sekadar paragraf panjang. Dengan demikian, keterampilan desain dan storytelling visual kini menjadi bagian penting dalam profesi humas. Inilah bentuk nyata dari integrasi antara komunikasi dan kreativitas dalam era informasi.
Meski demikian, press release belum sepenuhnya ditinggalkan. Dokumen resmi ini masih memiliki peran penting dalam konteks tertentu, terutama untuk komunikasi yang membutuhkan rekam jejak formal, seperti pernyataan kebijakan, klarifikasi hukum, atau laporan resmi. Namun, fungsi utamanya kini bergeser menjadi sumber informasi yang kemudian diterjemahkan dalam format yang lebih populer di media sosial. Dengan kata lain, tweet bisa menjadi “pintu masuk” publik untuk mengenal informasi yang lebih lengkap di press release. Kombinasi keduanya justru dapat menciptakan ekosistem komunikasi yang lebih kuat: cepat, kredibel, dan berlapis.
Transformasi ini pada akhirnya menggambarkan pergeseran kekuasaan informasi. Dulu, media massa menjadi penjaga gerbang utama yang menentukan apa yang layak diketahui publik. Kini, lembaga dapat langsung berbicara kepada masyarakat tanpa perantara. Namun, tanggung jawabnya pun menjadi lebih besar. Di tengah derasnya arus informasi, humas harus menjadi penjaga kebenaran dan kejelasan. Mereka tidak boleh tergoda dengan sensasi atau popularitas jangka pendek, melainkan tetap menjunjung nilai kejujuran dan akurasi. Setiap pesan, baik dalam bentuk press release maupun tweet, adalah representasi dari integritas lembaga yang diwakilinya.
Pada akhirnya, transformasi teknik humas dari press release ke tweet mencerminkan evolusi zaman yang menuntut adaptasi tanpa kehilangan esensi. Tujuan utama humas tetap sama: membangun kepercayaan publik. Namun, caranya harus disesuaikan dengan realitas komunikasi masa kini yang cepat, terbuka, dan partisipatif. Humas yang sukses di era digital bukan hanya yang pandai berbicara, tetapi yang mampu mendengarkan, merespons, dan berinteraksi secara autentik. Dunia telah berubah, dan humas harus menjadi jembatan antara institusi dan publik di tengah perubahan itu dengan satu prinsip yang tak boleh luntur: komunikasi yang jujur, manusiawi, dan bermakna.