Di era ketika setiap orang dapat menjadi penyampai pesan, dunia digital seakan tak pernah tidur. Informasi berpacu menembus ruang dan waktu, menuntut perhatian publik dalam hitungan detik. Masyarakat kini hidup di tengah banjir informasi yang tak selalu membawa kebenaran. Di satu sisi, media sosial memberi ruang luas bagi kebebasan berekspresi, tetapi di sisi lain, ia membuka celah bagi disinformasi dan bias yang merusak kredibilitas informasi itu sendiri.
Setiap hari, jari-jemari kita menari di atas layar. Dalam satu detik, begitu banyak informasi melintas di hadapan mata dari berita nasional, opini warganet, hingga potongan video yang viral di berbagai platform digital. Di balik derasnya arus itu, ada hal yang sering terlupakan, tidak semua yang terlihat benar, dan tidak semua yang viral pantas dipercaya.
Fenomena banjir informasi menjadi tantangan baru bagi masyarakat digital. Kecepatan kini menjadi ukuran utama keberhasilan menyebarkan pesan, sementara akurasi dan tanggung jawab kadang tertinggal jauh di belakang. Banyak media sosial, demi mengejar perhatian publik, menggunakan judul yang provokatif dan menyesatkan yang dikenal dengan istilah clickbait.
Kebiasaan inilah yang perlahan mengikis kepercayaan publik. Ketika semua orang berlomba menjadi yang tercepat, publik justru kesulitan menemukan mana yang paling benar. Krisis kepercayaan ini bukan hanya persoalan media, tetapi juga cerminan dari menurunnya budaya kritis masyarakat terhadap informasi.
Padahal, kecepatan tanpa kebenaran hanya melahirkan kebingungan. Di era digital yang serba cepat, kemampuan untuk memilah dan memverifikasi informasi menjadi keterampilan dasar yang wajib dimiliki setiap warga. Di sinilah pentingnya literasi digital sebuah kemampuan untuk tidak sekadar membaca informasi, tetapi juga memahami konteks, menilai sumber, dan membedakan fakta dari opini.
Literasi digital tidak hanya tanggung jawab lembaga pendidikan, tetapi juga menjadi bagian dari pembiasaan sehari-hari. Saat menerima pesan di grup keluarga, unggahan di media sosial, atau berita daring, sebaiknya masyarakat tidak langsung membagikannya sebelum memastikan kebenarannya. Langkah sederhana ini bisa mencegah penyebaran hoaks dan memperkuat budaya informasi yang sehat.
Selain itu, media mainstream dan media sosial perlu berhenti saling berseberangan. Keduanya memiliki kekuatan yang saling melengkapi: media sosial dengan kecepatan dan kedekatannya, media mainstream dengan kedalaman dan verifikasinya. Jika keduanya bersinergi, ekosistem informasi yang kuat dan kredibel dapat tercipta.
Gagasan inilah yang disampaikan Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi) dalam kegiatan MediaConnect 2025 di Makassar. Acara yang mengangkat tema “Dari Clickbait Jadi Kredibel” itu menegaskan pentingnya membangun kolaborasi lintas platform untuk memperbaiki kualitas informasi nasional.
Direktur Jenderal Komunikasi Publik dan Media, Fifi Aleyda Yahya, mengingatkan bahwa dalam dunia digital, kecepatan tidak seharusnya mengorbankan akurasi. Ia berkata, “Media sosial memberi kecepatan dan kedekatan, sedangkan media mainstream memberi kedalaman dan kredibilitas. Kalau dua kekuatan ini disatukan, kita bisa punya ekosistem informasi yang disukai sekaligus dipercaya.”
Lebih jauh, Fifi menegaskan bahwa kini bukan lagi soal siapa yang paling cepat menyebarkan informasi, tetapi siapa yang paling bisa dipercaya. “Karena di era banjir informasi, yang paling berharga bukan klik, tapi kredibilitas,” ujarnya.
Pernyataan ini menjadi refleksi penting bagi semua pihak. Kredibilitas adalah modal utama dalam komunikasi publik. Tanpa kepercayaan, setiap pesan akan kehilangan daya pengaruhnya. Inilah sebabnya mengapa media, jurnalis, dan kreator konten harus kembali berpegang pada etika dan tanggung jawab sosial dalam menyampaikan informasi.
Di sisi lain, pemerintah melalui Kemkomdigi juga menjalankan berbagai langkah untuk menjaga ruang digital tetap sehat, seperti patroli aktif terhadap konten negatif dan kampanye edukasi literasi digital. Namun, pemerintah tidak bisa bekerja sendirian. Upaya menciptakan ruang digital yang aman dan kredibel membutuhkan keterlibatan masyarakat terutama generasi muda yang menjadi pengguna utama internet.
Generasi digital hari ini bukan sekadar konsumen informasi, tetapi juga produsen pesan. Setiap unggahan adalah cerminan nilai dan tanggung jawab. Maka, sudah saatnya kita semua berpindah dari budaya asal bagikan menuju budaya berpikir sebelum membagikan.
Menjadi pengguna digital yang cerdas bukan berarti menutup diri dari informasi baru, tetapi membuka diri dengan kesadaran penuh. Dengan begitu, kita tidak hanya ikut menyebarkan berita, tetapi juga ikut membangun peradaban informasi yang berlandaskan kejujuran dan kebenaran.
Membangun budaya informasi yang sehat memang bukan pekerjaan singkat. Namun, langkah kecil seperti memverifikasi sebelum membagikan, menghargai karya jurnalistik yang kredibel, dan menolak sensasi tanpa fakta dapat menjadi awal perubahan besar. Sebab, masa depan ruang digital Indonesia tidak ditentukan oleh siapa yang paling viral, tetapi oleh siapa yang paling bisa dipercaya.